Monday, May 9, 2011

Daerah Otonom Hasil Pemerkaran

WARGA Jawa Barat patut bangga, Kota Cimahi merupakan daerah otonom hasil pemekaran yang meraih predikat dua terbaik secara nasional. Dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota hasil pemekaran periode tahun 1999 – 2009, hanya dua kota yang mendapat nilai lebih dari 60 dari totakl nilai 100. Yang pertama Kota Banjarbaru di Kalimantan Selatan meraih angka 64,61. Kedua, Kota Cimahi di Provinsi Jawa Barat yang mendapat nilai 60,43.
Sejak undang-undang otonomi daearh diberlakukan, banyak daerah di Indonesia yang bersemangat memisahkan diri dari induk asalnya. Pemekaran daerah otonom itu memang dibuka selebar-lebarnya oleh aturan dan peerundang-undangan. Semkangat “memisdahkan diri” itu makin kuat karena didorong oleh kaum elit, baik elit politik di DPR/DPRD maupun elit birokrasi.
Alasan yang dicantumkan dalam proposal pemuisahan juga sungguh masuk akal, untuk meiningatkan kesejahteraan rakyat. Para elit daerah itu merasakan, selama berada di bawah birokrasi provinsi, kota, atau kabupaten lama, daerahnya tertinggal, kurang mendapat perhatian, tidak terjangkau karena jauh, dan sebagainya. Tentu saja masyarakat setempat mendukung keinginan para elit itu. Berpuluh-puluh tahun, bahkan sejak Proklamasi Kemerdekaan RI, pembangunan selalu terpusat di ibu kota, baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Masyarakat di luar itu seolah-olah terlupakan.
Dengan harapan akan ada peningkatan kesejahteraan, rakyat di semua daerah melakukan gerakan mendorong terbentuknya wilayah dan pemerintahan baru. Gerakan berupa unjuk rasa menjadi lumrah diloakukan masyarakat. Gerakan itu membuat para elit politik di DPRD juga terdorong membuat keputusan sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Sampai tahun 2011 ini terbentuk 205 daerah otonom baru, 57 di antaranya baru berusia 0 – 3 tahun. Jangankan yang baru berusia 1-3 tahun, yang sudah cukup umur puin kebanyakan belum menunjukkan tingkat kemandirian yang prospektif. Baik dalam hal pemerintahan, pelayanan masyarakat, maupun daya saing daerah, dinilai masih sangat rendah. Apalagi dalam tingkat kesejahteran rakyat yang menjadi target utama, nilainya amat rendah.
Selama ini daerah otonom baru masih menjadi beban APBN bahkan ada belum mampu menolak bimbingan dan bantuan daerah otonom bekas induknya. Pendapatan asli daerah yang dijadikan andalan utama dalam menjalankan roda pemerintahan, pada kenyataannya belum memberikan kontribusi berarti. Yang baru tampak ke permukaan, lapangan kerja bagi birokrat, kedudukan bagi elit pemeintahan, kedudukan sebagai wakil rakyat bagi para elit politik, Selain itu, ada masalah yang sulit terselesaikan, yakni asset daerah. Di mana-mana, antara daerah induk dan daerah otonom baru, terjadi “percekcokan” masalah aset daerah. Terdengar agak aneh ketika dua daerah otonom bersitegang bahkan sampai ke meja hijau, gara-gara aset daerah.
Melihat kenyataan seperti itu, wajar bila DPR dan pemerintah pusat mengerem dulu laju pertumbuhan daerah otonom baru. Wajar pula apabila pemerintah pusat melakukan pengkajian lebih mendalam terhadap pemekaran daerah. Secara undang-undang harus ada indicator yang jelas tentang pemekaran, baik SDM, maupun potensi ekonomi daerah tersebut. Bila perlu, pemerintah pusat menentukan batas waktu. Misalnya dalam kurun waktu 20 tahun secara manajemen, pemerintah daerah otonom baru itu harus sudah mencapai break event point (BEP). Indokatornya bukan hanya APBD-nya sudah berimbang, tetapi juga tingkat kesejahteran rakyatnya. Apabaila pada awal pemekaran rata-rata pendapatan masyarakat di bawah Rp 1 juta perbulan, lima tahun berikutnya harus di atas Rp 1 juta.
Tingkat kesejahteraan rakyat harus menjadi indikator penilaian, karena hal itulah yang menjadi alasan utama ketika suatu daerah ingin menjadi daerah otonom baru. Apabila hal itu tidak terpenuhi, rakyat punya hak menuntut. ***

No comments:

Post a Comment