Monday, May 9, 2011

Bisakah Petani Tentukan Harga Gabah?

DAERAH Pantura Jawa Barat memasuki musim panen rending. Seperti pada setiap musim panen, harga gabah terus melorot. Dalam tempo hanya dua minggu, harga gabah yang mencapai Rp 4.700/kg, mulai Rabu minggu kedua bulan ini, merost sampai Rp 2.500/kg. Para petani belum bisa memastikan berapa harga paling rendah musim ini namun yang pasti petani selalu mengalami kerugian setiap panen datang.
Pemerintah hampir selalu ter tinggal ketika harus betrloma dengan kaum spekulan, tengkulak, atau ijon. Para pengijon, sejak mulai musim tanam, sudah mengambil ancang-ancang. Mereka menyebar modal untuk mengolah sawah. Ketika mendekati musim panen, kendali harga sudah mereka tentukan. Pada dasarnya musim panen di mana pun benar-benar di bawah kendali para pelepas uang.
Bukan hanya padi, semua hasil pertanian di negara kita, berada dalam genggaman kaum pengijon. Hal itu sudah berlangsung sejak dulu kala. Karena itu para pengijon sangat berpengalaman dalam mengendalikan harga hasil pertanian. Sedangkan pemerintah baru akan melangkah apabila musim panmen berakhir. Dolog menentukan harga dasar gabah berdasarkan perhitungan biaya produksi ditambah nilai keuntungan bagi petani. Perhitungan itu baru keluar setelah diketahui secara pasti hasil perhitungan tersebut. Sedangkan kaum spekulan melakukan operasi sesuai dengan kebutuhan para petani.
Harga gabah akan kembnali naik, beberapa saat setelah panen usai. Pada musim tanam berikutnya, ketrika para petani membutuhkan modal, rata-rata mereka tidak punya persediaan gabah lagi. Pada saat itu harga gabah terus naik dan kembali pada harga tertinggi, dua atau tiga kali lipat harga gabah pada musum panen. Kebanyakan petani hanya bias gigiot jari, tidak peernah menikmati tingginya harga jual gabah. Sedangkan kebutuhan akan modal, harus dipenuhi. Kembali lagi para pengijon dating “menyelamatkan” para petani.
Adakah upaya pemerintah memperbaiki kehidupan para petani? Mungkin ada, antara lain penawaran kredit tanpa agunan, pinjaman modal bergulir, membuka akses perbankan. Namun usaha itu belum berhasil memerangi peran para tengkulak dan mengangkat kehidupan para petani.
Memang yang harus mengubah nasib para petani itu, para petani sendiri. Mereka harus mampu mengubah pola hidupnya. Mereka juga haerus berkemampuan “melawan” para spekulan, pengijon, dan tengkulak. Sekarang sudah ada petani yang mulai melakukan gerakan, tidak menjual padi pada musim panen, tyeruata musim panen rendeng. Mereka menyimpan gabahnya terlebih dahulu, baru mengeluarkannya pada saat harga membaik.
Sebetulnya secara tradisional petani kita melakukan cara seperti itu. Mereka pantang mengeluarkan hasil panen di sawah atau di kebun. Hasil panen, bahkan dengan upacara adapt, dibawa ke rumah dan disimpan di gudang. Pisang diperam dulu, tomat, cabai, dan sebagainya, dipilah dan dipilih dulu baru dijual. Padi atau gabah hasil panen, dijemur dan diikat di sawah. Secara bersama-sama—diprakarsai kuwu atau tetua kampong, melakukan ritual membawa padi ke lumbung. Kegembiraan musim panen tergambar pada upacara menyimpan padi. Padi yang disimpan di lumbung, ;pasti padi yang sudah benar-benar kering.
Para petani tradisional itu akan menggunakan hasil panennya setelah semua keperluan dipenuhi. Misalnya, pajak (di Baduy disebut seba), perelek, urunan desa, persediaan benih, dan sebagainya. Mereka memperlakukan hasil panen dengan sangat apik. Tak ada padi yang tercecer, baik di sawah maupun di tempat penjemuran dan di jalan. Hasil panen relatif tidak ada yang terbuang. Perlakuan pasca-panen seperti itu justru sudah tidak lagi dimiliki para petani sekarang. Konon lebih datri 20 persen hasil panen, terutama padi, terbuang percuma.
Tampaknya, petani sekarang bisa belajar dari tata cara bertani dan perlakukan terhadap hasil panen para petani tradisional. Tentui saja tidak membuang ilmu dan teknologi pertanian yang memang sangat modern. Cara bercocok tanamnya harus sesuai dengan kemajuan teknologi pertanian. Namun perlakukan terhadap hasil panen (pasca-panen ) tidak ada salahnya bila kita mengadopsi kebiasaan yang baik, para leluhur kita. Selain hasil panennya akan benar-benar berkualitas, dengan cara itu para petani terhindar dari perilaku para spekulan. Para petanilah yang harus menentukan harga jual gabah miliknya.
Tidak cepat menjual hasil panen (khususnya padi) merupakan upaya terbaik agar petani dapat menikmati harga gabah yang baik. Namun upaya itu sangat sulit dilaksanakan terutama oleh buruh tani. Mereka terpaksa harus menjual padi upah kerjanya meskipun masih basah. Untuk menyelamatkan para petani, termasuk buruh tani,dari fluktuasi harga hasil pertanian, pemerintah harus turun tangan. Intervensi pemerintah dapat dilakukan dengan cara penerangan, pendampingan, dan stimulasi permodalan. ***

No comments:

Post a Comment