APABILA tidak sengaja dihapus, Indonesia
pernah menorehkan mimpinya menjadi kenyataan. Mimpi itu ialah swasembada beras.
Pemerintah berhasil melecut produktivitas padi, sehingga hasil panen melimpah.
Produktivitas padi yang cukup tinggi itu mengantar Presiden Soeharto ke PBB
untuk menerima piagam penghargaan. Saat itu, stok beras di gudang Bulog padat,
rakyat dapat membeli beras dengan harga yang terjangkau.
Ketika
mimpi itu hendak ditingkatkan dari swasembada beras ke swasembada pangan,
hambatannya terlalu banyak. Antara lain gejolak politik mulai terasa dengan
mengemukanya paham demokrasi yang lebih liberal. Kekuatan pemerintah mulai
diuji. Selain itu cuaca sering kali berubah. Kekeringan melanda sebagian besar
wilayah Indonesia .
Tanaman padi mengalami puso. Gagal panen bukan hanya terjadi pada padi tetapi
juga berbagai komoditas termasuk kedelai dan jagung.
Cadangan
beras terkuras. Pemerintah yang sudah menggenggam swasembada beras, terpaksa
harus mengimpor lagi beras. Kekurangan itu terus berlanjut. Sampai-sampai
pemerintah malakukan barter pesawat terbang buatan Nurtanio dengan beras ketan.
Meskipun barter itu biasa dalam dunia perdagangan internasional, tetapi hal itu
merupakan pertanda, Indonesia
mengalami kekurangan beras., termasuk beras ketan. Mimpi Indonesia
menjadi negara yang mampu bersawsembada pangan, tidak pernah menjadi kenyataan.
Sampai
hari ini, mimpi itu masih menjadi milik bangsa Indonesia.Semua rakyat Indonesia
gundah bahklan galau ketika mendengar pemerintah mengimpor beras, jagung,
kedelai, bahkan garam, sayur mayur, dam
buah-buahan. Agak terasa aneh hal itu bisa terjadi. Konon Indonesia itu
sebuah negara yang kaya raya. Semua kebutuhan manusia tersedia Tinggal kemampuan mengolah, menanam,
mengelola, dan memanfaatkannya. Nampaknya, kemampuan itulah yang belum kita
miliki secara penuh. SDM pertanian kita semakin menyusut karena pertanian
semakin tidak menarik bagi kalangan muda. SDM pertambangan, dan teknologi,
justru banyak yang hengkang dan dimanfaatkan orang luar.
Namun
ketergantungan pada impor itu ternyata berakibat fatal ketika arus barang dari
luar negeri itu mendapat kendala. Ketika Amerika Serikat menghentikan ekspor
kedelainya ke Indonesia
dengan alasan pertanian AS rusak akibat kekeringan. Baru kita semua galau.
Waktu Thailand dilanda
banjir, tanaman padinya rusak berat, mereka tidak bias mengekspor beras, Indonesia
bingung. Ketika ada kabar, sapi di Australia terpapar virus, dan
membatasi ekspornya, kita kelabakan. Kita semua, termasuk pemerintrah baru mau
menengok lagi kepada program swasembada pangan. Kita bertekad memacu
produktivitas tanaman kedelai, jagung, dan padi. Sayangnya hal itu dilakukan
setelah pedagang ayam mogok, pembuat tahu tempe
berenti berproduksi, petani membuang hasdil panennya.
Yang kita
takutkan, sikap bangsa ini yang merasa malu menjadi negara agraris. Ada stigma, pertanian
identik dengan primitif. Sebuah negara disebut maju apabila industrinya maju.
Olehkarena itu kita juga memilih industri berbasis manufaktur sebagai arah
pembangunan. Kita seiolah-olah menafikan pertanian. Padahal negara maju seperti
Amerika erikat tidak melupakan pertanian. Buktinya, Amerika merupakan
pengekspor utama hasil peternakan, pengekspor kedelai terbesar, pakan ternak
berbasis padi-padian juga menjadi produksi andalannya.
Lupakanlah
rasa malu sebagai petani. Bersyukurlah kepada Allah SWT kita menjadi negara
agraris. Tidak haram kita bermain dalam komoditas pertanian dan meningkatkan
industri yang berbasis agro. ***