”PERCAYALAH, pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM meski didesak banyak pihak,” kata Menko Kesra Agung Laksono. Masih menurut Agung, pemerintah dipastikan tidak akan menaikkan harga BBM sampai akhir tahun ini. Kebijakan menaikkan harga BBM tidak strategis dalam upaya mengurangi angka kemiskinan. Kebijakan meenaikkan harga BBM berisiko dan memiliki resistensi ekonomi dan social.
Pernyataan Menko Kesra itu sebagai pembenaran atas rencana pemerintah melakukan konvesri BBM ke gas untuk kendaraan umum. Kendaran pribadi yang tidak dikonversi ke gas tidak boleh menggnakan BBM premium dan solar bersubsidi. Bagi kendaraan pribadi berplat hitam hanya ada satu pilihan yakni BBM nonsubsidi yakni pertamax.
Agung Laksono meyaklinkan ralyat, konversi BBNM ke gas merupakan pilihan paling tepat. Hal itu dilakukan pemerintah dengan melihat pengalaman konvesri minyak tanah ke gas elpiji. Konversi itu berjalan mulus. Rakyat yang tidak menggunakan gas, membeli minyak tanah nonsubsidi tanpa gejolak apa-apa. Untuik mendukung ketetapannya itu, pemerintah, melalu Menko Kesra, mengatakan, konvesrsi BBM ke gas jauh lebih baik daripada tidak sama sekali. Seperti biasa, Menko Kesra menyampaikan angka-angka bahwa subsidi BBM melojak tahun 2011. Sampai Desember lalu, subsidi mencapai Rp 165,2 T. Padahal tahun sebelumnya baru sampai Rp 123,6 T. Artinya naik 127,4 persen.
Benar, kopnversi minyak tanah ke gas elpiji bisa dikatakan sukses. Bisa disumsikan, konversi BBM ke gas juga tidak akan mengalami kesulitan. Rakyat memang mendukung konversi minya tanah ke gas karena tidak disertai dengan masalah lain yang lebih pelik. Konversi minyak tanah ke gas—meskipun korban gas meledak cukup banyak—dilakukan secara elegan. Semua rakyat merasa lebih nyaman menggunakan gas daripada minyak tanah. Sebelum ada konversi, sudah banyak orang yang menggunakan gas dalam kehidupan sehari-hari.Mereka yang tidak mau menggunakan gas untuk keperluan sehari-harinya, lebih banyak yang memilih kayu bakr daripada minyak tanah.
Sedangkan konvetrsi BBM ke gas dilakukan secara diskriminatif. Hanya kendraan umum saja yang dikonversi, mengapa tidak semuanya saja? Indonesia memroklamasikan diri sebagai pengguna gas untuk transportasi. Tidak lagi menggunakan BBM. Kebijakan itu akan terasa adil dan berlaklu secara merata, tidak dibeda-bedakan, untuk si miskin dan si kaya. Semua pabrik otomotif, menerapkan pola teknologi BBG. Ke depan tidak ada lagi mobil produk baru yang tidak dilengkapi denmgan instalasi bahan baker gas. Jadi yang sudah ada sekarang, semuanya harus mengikuti program konversi BBM ke BBG.
Masalah sebenarnya bukan terletak pada konversi BBM ke BBG. Yang selalu ramai dibicarakan orang justru penggunaan BBM bersubsidi dan nonsubsidi. Dilihat dari segi ekonomi, teknis, dan kepatutan, konversi BBM ke BBG untuk semua kendaran pasti mendapat dukungan khalayak. Konversi itu berdampak positif bagi penghematan BBM dan pemeliharaan lingkungan hidup. Yang dipersoalkan masyarakat dewasa ini, pemerintah bersikap diskriminatif dalam penggunaan BBM. Rakyat yang memiliki kendaraan berplat nomor hitam, seolah-olah dipaksa menggunakan BBM dengan harga sangat mahal yakni pertamax. Mereka tidak boleh menggunakan BBM murah yakni premium.
Apabila kendaraan umum semua sudah melakukan konversi, lalu untuk apa persediaan premium? Kemunmgkinan besar, Indonesia tidak akan memproduksi premium. Secara ekonomi, hal; itu jauh lebih menguntungkan bagi pemerintah. Rakyat membeli BBM nonsubsidi yang harganya dua kali lipat BBM bersubsidi. Kebijakan seperti itulah yang dikhawatirkan banyak orang.
Kebijakan tidak menaikkan harga BBM menjadi tidak relevan dengan kenyataan. Meskipun harga BBM bersubsidi tidak naik, rakyat justru dipaksa membeli BBM nonsubsidi. Harga tidak naik namun belanja rakyat justru naik dua kali lipat. Biasanya seseorang membeli BBM 10 liter sehari dengan harga Rp 45.000. mulai bulan April dia harus punya uang Rp 90.000 untuk jumlah liter yang sama.***
betul gan, bisa jadi ini hanya spekulasi saja,,,
ReplyDelete