BANDUNG, (BB) –- Anggota Dewan Pakar Ketahanan
Nasiona (Wantanas) Prof Dr Ir H Eddy
Yusup mengatakan , Indonesia terancam rawan pangan karena tidak mampu berswasembada
pangan. Sejauh ini untuk mencukupi kebutuhan pangan, masih sangat tergantung
pada impor. Mulai dari beras, daging,
susu hingga kedelai , hingga Indonesia mendapat julukan “Negara Importir” di tengah wacana swasembada pangan yang sekedar wacana tataran
teoritis.
Dikemukakan
Eddy Jusuf, belum lama Indonesia diguncang gejolak harga daging sapi
dan ayam serta harga kacang kedelai. Mahalnya harga komoditas tersebut di
pasaran , akibat menyusutnya produksi, ketergantungan pada produk impor serta anomally iklim, sedangkan permintaan
pasar terus mengalami lonjakan cukup
signifikan. Presentase tertinggi, penyebabnya adalah ketergantungan pada produk
impor. Barang impor menjadi masalah baru bagi daerah penghasil komoditas pangan
dan peternakan ditingkat lokal, pasalnya pasokan impor lebih banyak, dan dari
segi harga lebih murah ketimbang harga komoditas pangan hasil peternakan lokal. “Pasokan dalam negeri
tidak memenuhi kebutuhan nasional, disokong oleh produk impor yang secara kualitas
antara produk impor dan lokal tidak jauh berbeda. Perbedaannya pada sisi harga yang lebih murah,” ungkap-
Eddy , kemarin kepada BB yang menghubunginya.
Berdasar
data Kementerian Perdagangan, kenaikan harga kedelai dunia sangat mempengaruhi
harga kedelai dalam negeri, karena 70% kebutuhan kedelai dalam negeri dipenuhi
kedelai impor. Kendati terdapat kecenderungan peningkatan rata-rata produksi
kedelai pada lima tahun terakhir sebesar 4.38%, produktivitas 1.04% dan luas
lahan tanam kedelai 3.1%, namun belum
dapat mengalahkan produktivitas pada
awal 1990-an. Pada tahun 2011 Indonesia baru bisa memproduksi kedelai lokal sebanyak
851.286 ton atau sekitar 29% dari total kebutuhan di tahun yang sama, sehingga Indonesia
harus mengimpor kedelai sebanyak 2.087.986 ton. Sementara data Badan Pusat Statistik, total kebutuhan
kedelai pada 2012 mencapai 2.2 juta ton dengan rincian untuk pangan sebesar 83,7
% dan untuk industry kecap, tauco serta
lainnya sebesar 14.7% , dan untuk kebutuhan benih kedelai sebesar 1.2% dan
pakan sekitar 0.4%.
Menurutnya,
Indonesia hingga kini masih sangat mengandalkan pada kedelai impor, karena
produk lokal tidak mencukupi. Usaha tani kedelai di Indonesia sebetulnya cukup
prospektif, akan tetapi ada beberapa permasalahan yang dihadapi, di antaranya
pola pikir petani yang masih memandang kedelai sebagai sampingan, terjadinya tumpang
tindih lahan antara tanaman padi dan kedelai, serta permasalahan impor kedelai,
ditambah dengan mahalnya biaya produksi kedelai, sehingga petani tidak
bergairah menanamnya. Secara perlahan namun pasti minimnya produksi pangan
termasuk kedelai, diperparah oleh alih
fungsi lahan. Penyebabnya ada tarik ulur kepentingan, antara konsep “lahan produktif”
dengan “lahan tidak produktif”. Lahan tersebut “dikorbankan” dalam rangka pengoptimalan
lahan pertanian menjadi industri dan pembangunan lainnya. Eddy
Yusup menyebutkan, masalah peternakan dan pertanian, dari sisi tata
niaga/perdagangan, pemerintah tidak lagi bisa memproteksi para petani dan
peternak, hal tersebut terkait pemberlakuan world trade organization atau perdagangan bebas. Pemerintah tidak
bisa memberlakukan kuota atau pembatasan barang impor menggelontor ke pasar Indonesia. Proteksi atau kiat yang harus
dilakukan melalui penguatan internal
pertanian dan peternakan itu sendiri, di antaranya meningkatkan produksi dan
produktivitas, mulai dari penyediaan bibit, benih, permodalan, keterampilan, tenaga
penyuluh, aplikasi tekhnologi serta sokongan anggaran pro petani dan peternak.
Jika pemerintah terus membiarkan seperti saat ini, swasembada kedelai 2014 dan swasembada daging
2015 , dipastikan tidak akan tercapai dan hanya akan menjadi wacana tataran
teroritis tanpa aplikasi. “Ya wacana tersebut jika diibaratkan adalah tong
kosong nyaring bunyinya,” tutur Eddy
Yusup . ( E - 018) ***
No comments:
Post a Comment