BENAR, Indonesia menang di pengadilan
banding di WTO. Dalam kasus larangan masuk bagi ekspor rokok kretek Indonesia
ke Amerika Serikat. Meskipun demikian Indonesia dan semua Negara berkembang
selalu menjadi korban ketidakseimbangan perdagangan internasional. Paling
tidak, barang ekspor Indonesia selalu “dicurigai” dengan pengawasan amat sangat
ketat.
Bukan
pertama kali bang ekspor Indonesia mendaoat perlakuan diskriminatif dari
beberapa Negara maju seprti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Bahkan Jepang,
China, dan Brasil pun pernah menuduh barang ekspor Indonesia bermasalah.
Alasannya banyak, antara lain, barang yang dibuat tidak ramah lingkungan, dalam
proses produksinya menggunakan tenaga kerja anak-anak di bawah umur, tidak
sesuai denganm aturan negara tujuan, politik dumping, dan sebagainya.
Produk
sepatu Indonesia hamper ditolak di beberapa Negara dengan alas an dalam proses
pembuatannya menggunakan tenaga kerja anak-anak di bawah umur. Mssih soal alas
kaki, Departemen Perdagangan Brasil mempersoalkan alas kaki ekspor Indonesia.
Disebutkan, produk sepatu yang masuk ke Brasil merupakan produk China melalui
Indonesia. Produk kayu Indonesia juga tertolak karena dianggap menggunaka bahan
dengan cara merusak lingkungan.. Ekspor
bahan mentah minyak sawit (CPO) asal Indonesia tidak boleh masuk Amerika
Serikat dengan alasan juga tidak ramah lingkungan. Rokok kretyek Indonesia
tidak bisa masuk Amerika Serikat karena AS membuat aturan yang melarang
penjualanm rokok kretek atau rokok yang memiliki rasacengkeh. Larangan itu
dimaksudkan agar anak-anak Amerika tidak merokok. Boleh dikatakan semua rokok
kretek atau memiliki rasa cengkeh yang beredar di AS berasal dari Indonesia.
Mie instant Indonesia pernah ditarik dari peredaranm di China karena dianggap
mengandung zat berbahaya.
Terakhir,
perlakukan tidak menyenangkan datang dari Uni Eropah. Produk Indonesia,
khususnya bahan kimia, fatty alcohol
(lemak alcohol) terkena undang-undang antidumping Eropa. Kasus itu diadukan
pemerintah Indonesia ke WTO. Indonesia memintadiadakan konsultasi dengan Uni
Eropa. Kasus tersebut masih dalam proses. Apabila dalam waktu 60 hari tidak
selesai, kasus itu akan meningkat menjadi sengketa ajudikasi.
Kemenangan
Indonesia dalam sengketa dagang dengan AS dan pengaduannya ke WTO atas kasus
dumping di Eropa menandakan, Indonesia punya keberanian. Bagaimanapun yang
dihadapi Indonesia semuanya negara raksasa. Dalam dunia perdagangan, semua
negara, terutama di dalam konteks pasar bebas, memiliki kesetaraan. Tidak ada
istilah negara maju dan negara berkembang. Dalam hal ini Indonesia bias menjadi
pionir bagi peningkatan adrenalin negara
berkembang lainnya. Namun komitmen para produser dalam berdagang secara jujur
harus menjadi jaminan bagio pemerintah dalam mengembangkan ekspor. Kejujuran
menjadi sangat penting dalam memelihara kepercayaan konsumen. Menjaga kejujuran
sama dengan menjaga kualitas komoditas.
Kita
juga harus tetap waspada, perlakuan dikriminatif terhadap komoditas Indonesia
akan terus bergulir. Masalahnya, Indonesia merupakan potensi pasar luar biasa
bagi produk internasional. Mereka akan kehilangan pasar apabila komoditas
Indonesia dibiarkan berkembang baik secara domestic maupun global.
Mudah-mudahan
saja Indonesia juga punya keberanian menolak atau mempermasalahkan barang impor
yang memang bermasalah. Indonesia jangan menelan begitu saja barang impor daeri
berbagai negara. Pada kenyataannya, banyak barang impor yang dinilai bisa
mengganggu kesehatan, seperti barang mainan anak-anak, cat yang digunakan masuk
golongan cat berbahaya. Banyak makanan dan buah-buahan eks impor yang
mengandung zat berbahaya seperti formalin, insektisida yang berlebihan. Belum lagi produk yang bisa merusak moral
bangsa dan masa depan anak-anak. Contohnya game animasi superhero yang berisi
kekerasan, majalah dan buku porno, dan sebagainya.
Bukan itu saja
pemerintah juga harus berani menolak impor dengan tujuan melindungi produk
dalam negeri. Impor garam, buah-buahan, sayur mayur, beras, jagung, dan
konsumsi rakyat lainnya, sebaiknya diotinjau ulang. Komoditas itu banyak
dihasilkan petani kita. Tanpa keberanian menolak atau membatasi impor komoditas
tertentu, produk pertanian kita akan terdesak. Produk kita selalu kalah
bersaing terutama dalam hal kemasan dan penampilan. ***
No comments:
Post a Comment