Friday, August 3, 2012

Tidak Mampu Berswasembada Indonesia Terancam Rawan Pangan


BANDUNG, (BB) –- Anggota Dewan Pakar Ketahanan Nasiona (Wantanas) Prof Dr Ir  H Eddy Yusup mengatakan , Indonesia terancam rawan pangan karena tidak mampu berswasembada pangan. Sejauh ini untuk mencukupi kebutuhan pangan, masih sangat tergantung pada  impor. Mulai dari beras, daging, susu hingga kedelai , hingga Indonesia mendapat julukan “Negara Importir”  di tengah wacana  swasembada pangan yang sekedar wacana tataran teoritis.
Dikemukakan Eddy Jusuf,  belum lama  Indonesia diguncang gejolak harga daging sapi dan ayam serta harga kacang kedelai. Mahalnya harga komoditas tersebut di pasaran , akibat menyusutnya produksi, ketergantungan pada produk impor serta anomally iklim, sedangkan permintaan pasar terus mengalami lonjakan  cukup signifikan. Presentase tertinggi, penyebabnya adalah ketergantungan pada produk impor. Barang impor menjadi masalah baru bagi daerah penghasil komoditas pangan dan peternakan ditingkat lokal, pasalnya pasokan impor lebih banyak, dan dari segi harga lebih murah ketimbang harga komoditas pangan  hasil peternakan lokal. “Pasokan dalam negeri tidak memenuhi kebutuhan nasional, disokong oleh produk impor yang secara kualitas antara produk impor dan lokal tidak jauh berbeda. Perbedaannya  pada sisi harga yang lebih murah,” ungkap- Eddy , kemarin kepada BB yang menghubunginya.

Berdasar data Kementerian Perdagangan, kenaikan harga kedelai dunia sangat mempengaruhi harga kedelai dalam negeri, karena 70% kebutuhan kedelai dalam negeri dipenuhi kedelai impor. Kendati terdapat kecenderungan peningkatan rata-rata produksi kedelai pada lima tahun terakhir sebesar 4.38%, produktivitas 1.04% dan luas lahan tanam kedelai 3.1%, namun  belum dapat mengalahkan  produktivitas pada awal 1990-an. Pada tahun 2011 Indonesia baru bisa memproduksi kedelai lokal sebanyak 851.286 ton atau sekitar 29% dari total kebutuhan di tahun yang sama, sehingga Indonesia harus mengimpor kedelai sebanyak 2.087.986 ton. Sementara  data Badan Pusat Statistik, total kebutuhan kedelai pada 2012 mencapai 2.2 juta ton dengan rincian untuk pangan sebesar 83,7 % dan untuk industry  kecap, tauco serta lainnya sebesar 14.7% , dan untuk kebutuhan benih kedelai sebesar 1.2% dan pakan sekitar 0.4%.        

 Menurutnya, Indonesia hingga kini masih sangat mengandalkan pada kedelai impor, karena produk lokal tidak mencukupi. Usaha tani kedelai di Indonesia sebetulnya cukup prospektif, akan tetapi ada beberapa permasalahan yang dihadapi, di antaranya pola pikir petani yang masih memandang kedelai sebagai sampingan, terjadinya tumpang tindih lahan antara tanaman padi dan kedelai, serta permasalahan impor kedelai, ditambah dengan mahalnya biaya produksi kedelai, sehingga petani tidak bergairah menanamnya. Secara perlahan namun pasti minimnya produksi pangan termasuk kedelai,  diperparah oleh alih fungsi lahan. Penyebabnya ada tarik ulur kepentingan, antara konsep “lahan produktif” dengan “lahan tidak produktif”. Lahan tersebut “dikorbankan” dalam rangka pengoptimalan lahan pertanian menjadi industri dan pembangunan lainnya.  Eddy  Yusup menyebutkan, masalah peternakan dan pertanian, dari sisi tata niaga/perdagangan, pemerintah tidak lagi bisa memproteksi para petani dan peternak, hal tersebut terkait pemberlakuan world trade organization atau perdagangan bebas. Pemerintah tidak bisa memberlakukan kuota atau pembatasan barang impor menggelontor ke pasar  Indonesia. Proteksi atau kiat yang harus dilakukan melalui  penguatan internal pertanian dan peternakan itu sendiri, di antaranya meningkatkan produksi dan produktivitas, mulai  dari penyediaan  bibit, benih, permodalan, keterampilan, tenaga penyuluh, aplikasi tekhnologi serta sokongan anggaran pro petani dan peternak. Jika pemerintah terus membiarkan seperti saat ini,  swasembada kedelai 2014 dan swasembada daging 2015 , dipastikan tidak akan tercapai dan hanya akan menjadi wacana tataran teroritis tanpa aplikasi. “Ya wacana tersebut jika diibaratkan adalah tong kosong nyaring bunyinya,” tutur  Eddy Yusup  . ( E - 018) ***     

No comments:

Post a Comment