LAPANGAN kerja di Indonesia bergeser dari industri, baik pengolahan maupun manufaktur, ke sektor jasa. Menurut laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) PBB, ketenaga-kerjaan Indonesia sejak krisis moneter 1998 belum menunjukkan kemajuan berarti. Lapangan kerja di sektor pertanian menurun sampai 5,6 persen. Jumlah pekerjaan di sektor industri dan manufaktur turun 0,8 persen. Sedangkan lapangan kerja di sektor jasa naik 2 persen.
Benar, sektor jasa mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak, namun tidak mampu mengurangi jumlah tenaga kerja yang putus di sektor pertanian dan industri. Selain itu bidang pekerjaan di sektor jasa belum optimal Sektor jasa belum mampu memberikan jaminan layak bagi para pekerja. Angkatan kerja muda masih belum terserap ke dalam bidang pekerjaan sektor formal yang produktif.
Di Jabar ada laporan yang membesarkan hati, angka pengangguran menurun, target penyerapan tenaga kerja tahun 2010-2011 jauh terlampaui. Pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf mencanangkan penyerapan satu juta tenaga kerja. Angka satu juta itu sudah terpenuhi bahkan terlampaui. Lalu mengapa ILO menyebutkan ketenaga-kerjaan Indonesia belum beranjak dari keadaan saat krisis moneter 1998?
. Dilihat dari angka, terjadi penurunan angka penganggur dan kenaikan penyerapan tenaga kerja. Yang patut mendapat perhatian, ketersediaan lapangan kerjanya. Hampir dapat dipastikan, sektor jasa dan sektor informal yang terbuka lebar. Sektor itulah yang menyerap tenaga kerja lebih dari satu juta orang tersebut. Sektor formal dan lapangan kerja berkualitas, seperti sektor industri dan manufaktur, boleh dikatakan tidak tersedia.
Hal itu dapat dipahami karena sektor industri di Jabar akhir-akhir ini mengalami stagnasi, terutama industri tekstil dan garmen. Banyak pabrik tekstil yang melakukan relokasi atau menutup usahanya Sedangkan sektor pertanmian, selain semakin tidak menarik bagi tenaga kerja muda juga terkendala dengan upah buruh yang masih sangat kecil. Industri garmen semakin kalah bersaing baik di pasar domestic maupun pasar global. Masuknya produk China berakibat terdesaknya produk domestik
Akibat lanjutannya sudah jelas yakni berkurangnya daya serap industri terhadap angkatan kerja. PHK yang terjadi pada sektor industri berdampak pada menumpuknya tenaga kerja atau angka penganggur. Secara kumulatif, jumlah tenaga kerja menjadi semakin tinggi. Kalau sekarang tenaga kerja tersebut terserap, selain angkanya tidak terlalu signifikan juga lapangan kerja yang menyerapnya tidak seberkualitas sektor industri dan manufaktur. Sektor jasa seperti pelayan took, maintenans di distro, mal, operator mesin permainan, tampaknya tidak memiliki jaminan masa depan yang prospektif bagi para pekerjanya. Keterpurukan, bahkan kebangkrutan selalu menjadi bayng-bayang yang mengkhawatirkan para pekerja.
Amat logis, orang berbondong-bondong ikut serta pada setiap kali ada ujian penerimaan calon pegawai negeri sipil. Dilihat dari segi apapun, PNS menjanjikan tingkat kesejahteraan yang lebih mapan serta jaminan masa tua yang memang jelas. Namun tentu saja, daya serap pemerintahan sangat kecil dibandingkan dengan makin membengkaknya angkatan kerja.
Pemerintah diharapkan mampu mendorong tumbuhnya sector industri yang mampu menyerap tenaga kerja. Bukan berarti sector jasa tidak punya kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja. Sektor itu penting dikembangkan karena dalam kenyataannya, sektor tersebut merupakan katup pengaman terhadap makin membengkaknya tenaga kerja. Peluang ketenagakerjaan masih ada, antara lain pertumbuhan industri kreatif yang cukup cepat. Hal itu dapa menjadi andalan Jawa Barat dalam menjawab kebutuhan lapangan kerja. Peluang kerja di luar negeri juga masih terbuka. Namun kita tidak boleh berbangga diri dengan kemampuan Jabar dalam pengiriman TKI. Peristiwa kriminal penganiayaan dan pemerkosaan atas TKW seolah-olah menjadi paket dalam pengiriman TKW.
Pengiriman TKI, khususnya TKW ke luar negeri sudah waktunya dikaji ulang. Pengiriman TKI yang tidak terdidik bahkan tidak punya keterampilan, hanya akan menurunkan gengsi kita sebagai bangsa berpendidikan. ***
No comments:
Post a Comment