DI televisi nasional ada acara Mendadak Dangdut, Mendadak Kaya, Mendadak Jadi Artis, dan entah apa lagi. Mengapa harus memakai kata “mendadak”? Itulah mungkin yang dalam dunia teater disebut spectacle. Sesuatu yang dengan sengaja ditampilkan secara mendadak, tanpa ada tanda-tanda dari awal. Maksudnya, agar penonton mendapat suguhan yang benar-benar surprise.
Keterkejutan atau surprise merupakan kenikmatan apresiatif yang mendorong terciptanya suasana harmonis antara pertunjukan dan penikmat , penonton, atau pembaca. Hari Sabtu lalu, pemerintah, melalui Menko Kesra, Agung Laksono, memberi kejutan kepada rakyat. Tanpa ada tanda-tanda jauh sebelumnya, pemerintah mengumumkan, hari Senin, 16 Mei 2011, merupakan hari libur nasional. Memang tidak disebutkan sebagai hari libur tetapi diartikulasikan sebagai hari cuti bersama. Semua pegawai negeri pada hari terjepit antara libur dan libur itu dipersilakan cuti.
Pada satu sisi, cuti bersama itu merupakan surprise yang amat sangat menyenangkan. Pegawai dapat menikmati hari libur panjang, dari Sabtu hingga Selasa. Libur empat hari berturut-turut, tentu saja sangat membahagiakan kaum pekerja. Hari Raya Lebaran saja, masa liburnya hanya dua-tiga hari. Hari Raya Waisak yang jatuh pada hari Selasa, 17 Mei, pegawai bisa libur empat hari.
Namanya libur panjang, pasti sangat membahagiakan. Wajar apabila semua pagawai menyambut keputusan pemerintah itu dengan suka ria. Namun di sisi lain, keterkejutan itu tidak selalu mendatangkan kebahagiaan. Bagi sebagaian pegawai, pengumuman cuti bersama secara mendadak itu, justru membingungkan. Mereka tidak punya rencana libur apalagi masa libur itu terjadi pada pertengahan bulan. Tengah builan merupakan masa paceklik bagi sebagain besar pegawai golongan rendah.
Pengumuman cuti bersama secara mendadak juga menimbulkan berbagai tanda tanya dan kesimpulan yang juga mendadak. Kalangan industri, baik industri kecil maupun manufaktur, keterkejutan itu berdampak pada kelangsungan produksi. Kaum buruhnya bertanya-tanya, ketika pada hari Senin masuk kerja, apakah mereka harus mendapat uang lembur, uang piket, atau justru harus berhenti bekerja? Jadwal yang sudah ditentukan sejak awal, tiba-tiba harus berubah akibat putusan pemerintah tersebut.
Memang disebutkan, pegawai pada sektor pelayanan masyatrakat, tidak libur. Namun pada kenyataannya, banyak pegawai yang merasa punya hak cuti bersama. Pegawai kereta api di beberaoa stasiun, libur sehingga kereta pai tidak diberangkatkan sesuai jadwal. Begitu juga para pegawai tata usaha di rumah sakit, di pemda, dan di instansi lain, mereka banyak yang libur sehingga pelayanan administrasi, terpaksa harus menunggu hingga hari Rabu.
Arus barang dan penumpang antarkota dan antarpulau, terhambat. Selain petugas banyak yang libur, juga anteran menjadi sangat panjang. Seharusnya barang dari P. Jawa ke Sumatera sampai dua hari, menjadi satu minggu karena harus antre di pelabuhan. Masalahnya petugas tidak sempat mengantisipasi melonjaknya arus kendaraan dan arus penumpang. Libur yang rutin, seperti Lebaran dan Tahun Baru, sepadat apapun, bisa terurai karena para petugas bisa mengantisipasinya sejak awal. Liburan panjang itu sudah terjadwal. Petugas juga sudah siap.
Cuti bersama yang diumumkan secara mendadak berdampak pula pada kinerja pemerintahan, baik eksekutif mauoun legislatif. Berbagai rencana pertemuan di DPR terpaksa harus batal karena semuanya cuti. Akibatnya menjadi panjang. DPR dan pemerintah harus melakukan penjadwalan ulang.
Apakah pendadakan itu juga merupakan indikasi, pemerintah tidak mempunyai rencana yang matang? Masalah libur, yang sebenarnya sepele, tidak terjadwal secatra pasti padahal hari-hari libur itu merupakan sesuatu yang pasti. Mengapa tidak diumumkan lima tahun sekali atau pendeknya satu tahun satu kali. Begitu kalender menginjak tahun barui, saat itu juga pemerintah secara resmi mengeluarkan jadwal libur, baik libur nasional, maupun hari-hari “kejepit”.
Kita tidak berharap, pemerintah justru “kejepit” akibat hari “kejepit” yang sepele itu. Semua hal yang menyangkut pemerintahan, seyogianya tersusun secara rinci dalam rencana tahunan, tiga tahunan, atau lima tahunan. ***
Friday, May 20, 2011
Petani Produksi Holtikultura Kalah Melawan Harga Obral Buah Impor
BANDUNG, (BB) – Perdagangan bebas yang dijalin Indonesia dengan Cina telah menohok perekonomian rakyat . Khususnya oleh para petani produksi holtikultura. Para petani buah-buahan tidak mampu bersaing melawan harga “obral” produk holtikultura asal Cina. Buah jeruk dan apel asal negara tirai bambu tersebut, kini membanjiri pasar di Kota Bandung . Pada tingkat bandar di Pasar Induk Caringin dan Gedebage dijual seharga Rp 7000 – Rp 9.000/kilogram.
Membanjirnya buah-buhan asal Cina , seperti jeruk yang dijual dibawah harga jeruk lokal berdampak kepada tata niaga produksi holtikultura yang menyeret ke arah keterpurukan usaha petani karena tidak mampu bersaing melawan harga jual yang lebih rendah dari buah-buahan impor .
Sisi lain mata rantai perdagangan pada tingkat bandar ( pasar induk) sampai pada tingkat pengecer diakui mereka , membeli produk holtikultura asal Cina yang dibeli murah, telah memberinya keuntungan karena adanya kecenderungan konsumen yang lebih memilih jenis komoditas dengan harga murah.
“Saya sebagai pedagang, ya ..tentu mencari untung degan membeli dagangan yang lebih murah, tapi kualitasnya tidak jauh berbeda. Saya membeli jeruk asal Cina dari daerah Tanjung Priok, Sunter dan Ancol Jakarta setiap harinya rata-rata 6 ton,”tutur Ade (43 ) pedagang buah-buahan di Pasar Induk Gedebage Bandung.
Jeruk atau apel impor asal Cina dijual dalam dus dalam berbagai ukuran yang menentukan harga dan isi/jumlah buah-buahan di dalamnya.
Menurut Ade, ukuran dus double S, berisi 100 buah jeruk dijual seharga Rp 70.000, ukuran S seharga Rp 75.000 berisi sekitar 80 buah, kemudian ukuran M seharga Rp 80.000 berisi sekitar 72 buah. Harga tersebut tergantung pada besar/kecilnya buah-buahan didalam dus. Satu dus rata-rata seberat kurang lebih 9 kilogram.
Harga apel asal Cina Rp 180.000/18 kilogram, setiap harinya PD “ZR” yang dikelola Ade membeli dari Jakarta sekitar 5 ton. Sementara buah lengkeng asal Thailand pada tingkat pedagang buah-buahan di pasar induk seharga Rp 70.000/10 kg (satu rigen).
Buah-buahan asal Cina ini, membanjiri pasar-pasar di Kota Bandung sejak awal tahun 2011. Pada tingkat pedagang kaki lima (PKL) dan pengecer yang menjual dagangannya menggunakan roda dorong, jeruk yang dibeli per-dus dari pedagang besar (Bandar) di Pasar Induk, dijual rata-rata Rp 1000/buah. Mereka mengemas jeruk dalam satu bungkusan plastik berisi lima buah.
Menurut Ade, untuk jeruk harus habis terjual antara 2 – 3 hari, beda dengan apel waktu terjual bisa 2- 4 hari.
Sementara itu menurut Jajang, pedagang buah-buahan di Pasar Induk Caringin, jenis buah jeruk lokal asal Medan, untuk jenis super saat ini harganya mencapai Rp 14.500 – Rp 15.000/kg. Kemudian untuk jenis AB seharga Rp 12.500/kg, jenis C Rp 9.500/kg dan untuk jenis D Rp 7.500/kg. Harga tersebut membedakan besar/kecilnya buah.
Harga buah-buahan lokal yang dijual di Pasar Induk Caringin, semangka Rp 2.700/kg, melon Rp 4.200/kg, jeruk Rp 15.000/kg, papaya Rp 2.800/kg, pisang Rp 3000/kg, salak
Rp 3000/kg, nanas Rp 2000/kg.
Sementara itu keterangan yang dihimpun BB dari Seksi Tanaman Buah dan Hias Dinas Tanaman Pangan Jabar , membanjirnya buah-buahan khususnya jeruk dan apel asal Cina memang sulit dibendung . Jawa Barat tidak memiliki sentra tanaman jeruk, sejak pertumbuhan jeruk Garut punah puluhan tahun lalu.
Jawa Barat, kini tengah mengembangkan dan meningkatkan produktifitas buah mangga sebagai tanaman holtikultura unggulan.” Tanaman ini dikembangkan untuk meningkatkan produktifitasnya, terutama di daerah yang selama ini dikenal sebagai sentra buah mangga. Seperti Indramayu, Cirebon, Majalengka, Sumedang dan Kuningan,” tutur Kasi Tanaman Buah dan Hias Disperta Jabar Ir.Suwito Hadi.MP .
(B-003) ***
Membanjirnya buah-buhan asal Cina , seperti jeruk yang dijual dibawah harga jeruk lokal berdampak kepada tata niaga produksi holtikultura yang menyeret ke arah keterpurukan usaha petani karena tidak mampu bersaing melawan harga jual yang lebih rendah dari buah-buahan impor .
Sisi lain mata rantai perdagangan pada tingkat bandar ( pasar induk) sampai pada tingkat pengecer diakui mereka , membeli produk holtikultura asal Cina yang dibeli murah, telah memberinya keuntungan karena adanya kecenderungan konsumen yang lebih memilih jenis komoditas dengan harga murah.
“Saya sebagai pedagang, ya ..tentu mencari untung degan membeli dagangan yang lebih murah, tapi kualitasnya tidak jauh berbeda. Saya membeli jeruk asal Cina dari daerah Tanjung Priok, Sunter dan Ancol Jakarta setiap harinya rata-rata 6 ton,”tutur Ade (43 ) pedagang buah-buahan di Pasar Induk Gedebage Bandung.
Jeruk atau apel impor asal Cina dijual dalam dus dalam berbagai ukuran yang menentukan harga dan isi/jumlah buah-buahan di dalamnya.
Menurut Ade, ukuran dus double S, berisi 100 buah jeruk dijual seharga Rp 70.000, ukuran S seharga Rp 75.000 berisi sekitar 80 buah, kemudian ukuran M seharga Rp 80.000 berisi sekitar 72 buah. Harga tersebut tergantung pada besar/kecilnya buah-buahan didalam dus. Satu dus rata-rata seberat kurang lebih 9 kilogram.
Harga apel asal Cina Rp 180.000/18 kilogram, setiap harinya PD “ZR” yang dikelola Ade membeli dari Jakarta sekitar 5 ton. Sementara buah lengkeng asal Thailand pada tingkat pedagang buah-buahan di pasar induk seharga Rp 70.000/10 kg (satu rigen).
Buah-buahan asal Cina ini, membanjiri pasar-pasar di Kota Bandung sejak awal tahun 2011. Pada tingkat pedagang kaki lima (PKL) dan pengecer yang menjual dagangannya menggunakan roda dorong, jeruk yang dibeli per-dus dari pedagang besar (Bandar) di Pasar Induk, dijual rata-rata Rp 1000/buah. Mereka mengemas jeruk dalam satu bungkusan plastik berisi lima buah.
Menurut Ade, untuk jeruk harus habis terjual antara 2 – 3 hari, beda dengan apel waktu terjual bisa 2- 4 hari.
Sementara itu menurut Jajang, pedagang buah-buahan di Pasar Induk Caringin, jenis buah jeruk lokal asal Medan, untuk jenis super saat ini harganya mencapai Rp 14.500 – Rp 15.000/kg. Kemudian untuk jenis AB seharga Rp 12.500/kg, jenis C Rp 9.500/kg dan untuk jenis D Rp 7.500/kg. Harga tersebut membedakan besar/kecilnya buah.
Harga buah-buahan lokal yang dijual di Pasar Induk Caringin, semangka Rp 2.700/kg, melon Rp 4.200/kg, jeruk Rp 15.000/kg, papaya Rp 2.800/kg, pisang Rp 3000/kg, salak
Rp 3000/kg, nanas Rp 2000/kg.
Sementara itu keterangan yang dihimpun BB dari Seksi Tanaman Buah dan Hias Dinas Tanaman Pangan Jabar , membanjirnya buah-buahan khususnya jeruk dan apel asal Cina memang sulit dibendung . Jawa Barat tidak memiliki sentra tanaman jeruk, sejak pertumbuhan jeruk Garut punah puluhan tahun lalu.
Jawa Barat, kini tengah mengembangkan dan meningkatkan produktifitas buah mangga sebagai tanaman holtikultura unggulan.” Tanaman ini dikembangkan untuk meningkatkan produktifitasnya, terutama di daerah yang selama ini dikenal sebagai sentra buah mangga. Seperti Indramayu, Cirebon, Majalengka, Sumedang dan Kuningan,” tutur Kasi Tanaman Buah dan Hias Disperta Jabar Ir.Suwito Hadi.MP .
(B-003) ***
Tahun 2011 Cimahi Tertutup Bagi Pembangunan Industri Tekstil
BANDUNG (BB) - Kantor Penanaman Modal Kota Cimahi melansir, minat investasi di Kota Cimahi tiap tahunnya terus mengalami kenaikan. Tidak hanya diminati investor dari dalam negeri ( PMDN ), tetapi juga pemodal asing (PMA). Pada tahun 2011 ini, ada tiga investor yang tengah mengajukan permohonan pembangunan hotel di wilayah Cimahi.
Menurut Kepala Kantor Penanamam Modal Kota Cimahi, Drs Beny Bachtiar , minat investor untuk berinvestasi di Kota Cimahi cukup tinggi, karenanya Pemkot Cimahi menentukan kebijakan untuk hal tersebut sangat selektif. Saat ini Pemkot Cimahi, tidak lagi membneri ijin investasi untuk mendirikan industri tekstik , kecuali industri garment. Alasannya, industri tekstil kerap menimbulkan keruksakan ekosistem, akibat pengambilan air bawah tanah serta polusi udara dan air. Pemerintah kota Cimahi saat ini lebih fokus kepada industri kreatif, ketimbang industri tekstil berdasar pertimbangan pada sejumlah asumsi logis, asumsi positif dan asumsi obyektif. Industri tekstil selain kerap meruksak ekosistem, juga dukungan terhadap laju pertumbuhan ekonomi atau LPE Kota Cimahi relatif datar , bahkan cenderung anjlok. Dalam dua tahun terakhir sampai Mei 2011 terdapat 50 industri yang kolaps, akibatanya ribuan buruh di PHk .
Di Cimahi, dari 15 kriteria bidang industri kreatif, secara existing ada 156 industri kreatif, namun Pemkot Cimahi memfokuskan diri kepada industri animasi serta tehnologi informasi (IT). Pertimbangannya karena ramah lingkungan, padat karya serta mampu memproteksi diri dari gangguan ekonomi global, bahkan di tahun 2012, pemerintah mengklaim industri kreatif bisa menjadi penopang laju pertumbuhan ekonomi (LPE) Kota Cimahi. Saat ini pertumbuhan dan perkembangan industri kreatif, terutama film animasi di kota Cimahi menuju arah trend posistif. Para kreator film animasi yang tergabung kedalam Cimahi Creative Association tengah melakukan beberapa persiapan untuk merealiasasikan ambisinya yakni menciptakan film animasi untuk layar lebar. Selain itu, CCA pun tengah memproduksi dan membuat karakter untuk serial di televisi nasional. Rencananya, film animasi itu terdiri dari 13 episode dengan durasi per episodenya sekitar 24 menit. Targetnya, seluruh produksi film animasi tersebut rampung pada Juni 2011 mendatang.
Menurut Benny, pada tahun 2011 ini, ada 6 penanam modal yang berencana membangun industri tekstil di Cimahi, terutama di kawasan Leuwigajah. Investor umumnya merupakan pemodal asing dari negera Jepang, Amerika dan China. Nilai investasi, rata-rata di atas 5 juta US dolar yang dan diperkirakan mampu merekrut sekitar 3000 tenaga kerja. Selain sektor industri tekstil, Kota Cimahi pun mulai dilirik investor industri perhotelan dan industri olah raga. Pada tahun 2011 ini, setidaknya ada 3 investor yang telah mengajukan rencana pembangunan hotel serta stadion olah raga di kawasan Cibeber. Rencana pembangunan perhotelan telah mendapat “lampu hijau” dari eksekutif, ujar Benny Bachtiar.
Pada tahun 2010, total penanaman modala asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) di Kota Cimahi mencapai Rp 1.319.945.986.233 , terdiri dari 4 PMA dan 3 PMDN. Penanam modal asing atau PMA sebesar Rp 510.661.694.520 dan
PMDN sebesar Rp 806.284.291.713. ( D-023) ***
Menurut Kepala Kantor Penanamam Modal Kota Cimahi, Drs Beny Bachtiar , minat investor untuk berinvestasi di Kota Cimahi cukup tinggi, karenanya Pemkot Cimahi menentukan kebijakan untuk hal tersebut sangat selektif. Saat ini Pemkot Cimahi, tidak lagi membneri ijin investasi untuk mendirikan industri tekstik , kecuali industri garment. Alasannya, industri tekstil kerap menimbulkan keruksakan ekosistem, akibat pengambilan air bawah tanah serta polusi udara dan air. Pemerintah kota Cimahi saat ini lebih fokus kepada industri kreatif, ketimbang industri tekstil berdasar pertimbangan pada sejumlah asumsi logis, asumsi positif dan asumsi obyektif. Industri tekstil selain kerap meruksak ekosistem, juga dukungan terhadap laju pertumbuhan ekonomi atau LPE Kota Cimahi relatif datar , bahkan cenderung anjlok. Dalam dua tahun terakhir sampai Mei 2011 terdapat 50 industri yang kolaps, akibatanya ribuan buruh di PHk .
Di Cimahi, dari 15 kriteria bidang industri kreatif, secara existing ada 156 industri kreatif, namun Pemkot Cimahi memfokuskan diri kepada industri animasi serta tehnologi informasi (IT). Pertimbangannya karena ramah lingkungan, padat karya serta mampu memproteksi diri dari gangguan ekonomi global, bahkan di tahun 2012, pemerintah mengklaim industri kreatif bisa menjadi penopang laju pertumbuhan ekonomi (LPE) Kota Cimahi. Saat ini pertumbuhan dan perkembangan industri kreatif, terutama film animasi di kota Cimahi menuju arah trend posistif. Para kreator film animasi yang tergabung kedalam Cimahi Creative Association tengah melakukan beberapa persiapan untuk merealiasasikan ambisinya yakni menciptakan film animasi untuk layar lebar. Selain itu, CCA pun tengah memproduksi dan membuat karakter untuk serial di televisi nasional. Rencananya, film animasi itu terdiri dari 13 episode dengan durasi per episodenya sekitar 24 menit. Targetnya, seluruh produksi film animasi tersebut rampung pada Juni 2011 mendatang.
Menurut Benny, pada tahun 2011 ini, ada 6 penanam modal yang berencana membangun industri tekstil di Cimahi, terutama di kawasan Leuwigajah. Investor umumnya merupakan pemodal asing dari negera Jepang, Amerika dan China. Nilai investasi, rata-rata di atas 5 juta US dolar yang dan diperkirakan mampu merekrut sekitar 3000 tenaga kerja. Selain sektor industri tekstil, Kota Cimahi pun mulai dilirik investor industri perhotelan dan industri olah raga. Pada tahun 2011 ini, setidaknya ada 3 investor yang telah mengajukan rencana pembangunan hotel serta stadion olah raga di kawasan Cibeber. Rencana pembangunan perhotelan telah mendapat “lampu hijau” dari eksekutif, ujar Benny Bachtiar.
Pada tahun 2010, total penanaman modala asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) di Kota Cimahi mencapai Rp 1.319.945.986.233 , terdiri dari 4 PMA dan 3 PMDN. Penanam modal asing atau PMA sebesar Rp 510.661.694.520 dan
PMDN sebesar Rp 806.284.291.713. ( D-023) ***
Monday, May 9, 2011
Sekitar 60 % Korban Trafficking Berasal dari Jawa Barat
BANDUNG, (BB)- Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Jawa Barat, sejauh ini Jawa Barat masih berada pada posisi tertinggi untuk kasus trafficking atau perdagangan orang, terutama perempuan dan anak. Faktor penyebabnya tertumpu pada masalah pendidikan yang rendah, kemiskinan, kurang atau tidak memiliki keterampilan .
Hal tersebuit dikemukakan Kepala BPPKB Provinsi Jawa Barat Hj Sri Asmawati Kusumawardhani SH, Mhum kepada BB. Secara nasional, Provinsi Jawa barat masih menempati posisi teratas dalam kasus trafficking. Merujuk kepada data Bareskrim Polri tahun 2009, jumlah korban trafficking di Indonesia, 60 persen diantaranya berasal dari Jawa Barat dengan jumlah korban mencapai 746 orang . Hal itu merupakan indikasi perempuan dan anak di Jawa Barat sangat rentan menjadi sasaran perdagangan orang atau trafficking.
Penyebab perempuan dan anak kerap menjadi korban trafficking berdasar data survey sosial ekonomi nasional tahun 2007-2008 terincikan, tahun 2007 korban yang berpendididkan sampai SD sederajat ada 38,49% , perempuan dan laki-laki 37.25% .
Tahun 2008 menurun menjadi 38,44% dan 35.59% (perempuan dan laki-laki). Sedangkan tamatan setingkat akademi/universitas laki-laki yang menjadi korban sekitar 0.13 %. Namun turunnya jumlah korban trafificking tersebut, tidak selaras dengan pendidikan kaum perempuan, khususnya yang tinggal di pedesaan. Ada beberapa faktor kenapa perempuan di pedesaan umumnya hanya tamatan Sekolah Dasar Hal itu kemungkinan karena jarak sekolah yang relatih jauh, masih ada budaya masyarakat yang masih memegang teguh tentang peran perempuan yang sebatas menjadi sebagai ibu rumah tangga saja Anak perempuan cenderung mendapat kesempatan bersekolah lebih sedikit,dibandungkan laki-laki. Keadaan tersebut mengakibatkan adanya perbedaan yang signifikan kemampuan membacar dan menulis kaum perempuan sangat jauh tertinggal oleh kaum laki-laki. Tahun 2007 dan 2008, kaum perempuan baru mencapai antara 94-95% sedangkan kaum laki-laki sudah mencapai 97-98%.
Menurut Sri Asmawati Kusumawardhani, trafficking khususnya perempuan dan anak telah meluas dalam jaringan kejahatan yang terorganisir maupun yang tidak terorganisir, baik bersifat antar negara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak azasi manusia. Untuk pemberantasan tindak pidana perdagangan orang , sebenarnya telah diatur dalam Undang – Undang nomor 21 tahun 2007. Sebagai aplikasinya, pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat membuat berbagai regulasi untuk pencegahan dan penanganan trafficking. Regulasi tersebut diantaranya Perda Nomor 3 tahun 2008 tentang pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang di Jawa Barat, ada pula Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 1331 tahun 2009, tentang pembentukan gugus tugas pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang di Jawa Barat dan dilengkapi dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat, tentang pembentukan pos pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (P2TP2A) Provinsi Jawa Barat
Berdasarkan data BPPKB Provinsi Jawa Barat tahun 2010, P2TP2A saat ini telah tersebar di 12 lokasi, di 10 kabupaten dan kota di Jawa Barat. Yakni kota Bandung, kabupaten Cianjur, kota Cirebon, kota Cimahi, kabupaten Purwakarta, kabupaten Bandung, kota Bogor, kabupaten Bogor, kabuapten Cirebon dan kabupaten Garut
Sejak Januari 2009 sampai dengan September 2010 gugus tugas pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang Jawa Barat telah memulangkan sebanyak 72 orang korban trafficking dari kepulauan Riau, Kalimantan timur, Kalimantan Barat dan Bangka Belitung. (D-023) ***
Hal tersebuit dikemukakan Kepala BPPKB Provinsi Jawa Barat Hj Sri Asmawati Kusumawardhani SH, Mhum kepada BB. Secara nasional, Provinsi Jawa barat masih menempati posisi teratas dalam kasus trafficking. Merujuk kepada data Bareskrim Polri tahun 2009, jumlah korban trafficking di Indonesia, 60 persen diantaranya berasal dari Jawa Barat dengan jumlah korban mencapai 746 orang . Hal itu merupakan indikasi perempuan dan anak di Jawa Barat sangat rentan menjadi sasaran perdagangan orang atau trafficking.
Penyebab perempuan dan anak kerap menjadi korban trafficking berdasar data survey sosial ekonomi nasional tahun 2007-2008 terincikan, tahun 2007 korban yang berpendididkan sampai SD sederajat ada 38,49% , perempuan dan laki-laki 37.25% .
Tahun 2008 menurun menjadi 38,44% dan 35.59% (perempuan dan laki-laki). Sedangkan tamatan setingkat akademi/universitas laki-laki yang menjadi korban sekitar 0.13 %. Namun turunnya jumlah korban trafificking tersebut, tidak selaras dengan pendidikan kaum perempuan, khususnya yang tinggal di pedesaan. Ada beberapa faktor kenapa perempuan di pedesaan umumnya hanya tamatan Sekolah Dasar Hal itu kemungkinan karena jarak sekolah yang relatih jauh, masih ada budaya masyarakat yang masih memegang teguh tentang peran perempuan yang sebatas menjadi sebagai ibu rumah tangga saja Anak perempuan cenderung mendapat kesempatan bersekolah lebih sedikit,dibandungkan laki-laki. Keadaan tersebut mengakibatkan adanya perbedaan yang signifikan kemampuan membacar dan menulis kaum perempuan sangat jauh tertinggal oleh kaum laki-laki. Tahun 2007 dan 2008, kaum perempuan baru mencapai antara 94-95% sedangkan kaum laki-laki sudah mencapai 97-98%.
Menurut Sri Asmawati Kusumawardhani, trafficking khususnya perempuan dan anak telah meluas dalam jaringan kejahatan yang terorganisir maupun yang tidak terorganisir, baik bersifat antar negara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak azasi manusia. Untuk pemberantasan tindak pidana perdagangan orang , sebenarnya telah diatur dalam Undang – Undang nomor 21 tahun 2007. Sebagai aplikasinya, pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat membuat berbagai regulasi untuk pencegahan dan penanganan trafficking. Regulasi tersebut diantaranya Perda Nomor 3 tahun 2008 tentang pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang di Jawa Barat, ada pula Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 1331 tahun 2009, tentang pembentukan gugus tugas pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang di Jawa Barat dan dilengkapi dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat, tentang pembentukan pos pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (P2TP2A) Provinsi Jawa Barat
Berdasarkan data BPPKB Provinsi Jawa Barat tahun 2010, P2TP2A saat ini telah tersebar di 12 lokasi, di 10 kabupaten dan kota di Jawa Barat. Yakni kota Bandung, kabupaten Cianjur, kota Cirebon, kota Cimahi, kabupaten Purwakarta, kabupaten Bandung, kota Bogor, kabupaten Bogor, kabuapten Cirebon dan kabupaten Garut
Sejak Januari 2009 sampai dengan September 2010 gugus tugas pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang Jawa Barat telah memulangkan sebanyak 72 orang korban trafficking dari kepulauan Riau, Kalimantan timur, Kalimantan Barat dan Bangka Belitung. (D-023) ***
Dinas Tenaga Kerja Harus Berani Menindak Pengusaha Pelaku Kejahatan Ketenagakerjaan
BANDUNG, (BB) – Dinas Tenaga Kerja tidak memiliki keberanian untuk menyeret pengusaha yang melakukan kejahatan ketenagakerjaan melalui proses hukum. Sejauh ini berbagai sengketa buruh dengan majikan hanya diselesaikan melalui mediasi. Dalam akhir proses , pihak buruh selalu pada pihak yang kalah.
Wakil Ketua DPC SPN (Serikat Pekerja Nasional) Kota Bandung, Sukirno mengemukakan hal itu menjawab pertanyaan BB, kemarin di ruang kerjanya terkait beberapa tuntutan kaum buruh yang dilontarkan pada peringatan Hari Buruh, 1 Mei baru lalu.
Selain itu menurut Sukirno, pihak Depnaker sama sekali tidak melakukan pengawasan terhadap berbagai masalah yang menyangkut buruh di perusahaan dengan alasan pihak instansi terkait tersebut kekurangan tenaga (PNS) pengawas. Seharusnya pihak Dinas Tenaga Kerja bisa membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) perusahaan yang jelas-jelas melakukan pelanggaran normatif terhadap peraturan perundang-undangan untuk diproses secara hukum. Di antaranya menempatkan tenaga kontrak atau outsourching pada bagian produksi . Penggunaan tenaga kontrak terbatas hanya untuk tenaga Satpam, katering dan cleaning service.
Dikatakan Sukirno, penggunaan tenaga kontrak merupakan akal bulus pengusaha agar bisa membayar upah lebih murah dan tidak didaftarkan untuk menjadi klien Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja). Perilaku pengusaha serupa ini, jelas menjadi ancaman bagi buruh tetap. Tenaga kerja tetap, melalui berbagai upaya sistematis diganggu agar tidak betah dan kemudian mengundurkan diri.
Setiap pekerja oleh perusahaan tempatnya bekerja wajib didaftarkan untuk menjadi anggota atau klien Jamsostek dengan iuran tetap sebesar 2% per-bulan dipotong dari upah, ditambah 3,7% dari perusahaan. Hingga total polis yang harus dibayarkan ke Jamsostek mencapai 5,7 % .
Namun pada kenyataannya menurut Sukirno, masih banyak hal yang kurang terpuji dilakukan oleh perusahaan. Mulai dari tidak menyetorkan iuran Jamsostek, mendaftarkan jumlah karyawan yang tidak sesuai dengan jumlah sebenarnya atau tidak sesuai dengan upah yang diterima pekerja. Peraturan mengenai kewajiban perusahaan untuk mendaftarkan karyawannya untuk menjadi anggota Jamsostek sudah diundangkan sejak tahun 1992. Namun sejauh ini masih banyak pekerja yang belum menjadi klien Jamsostek karena tidak didaftarkan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Hingga jika terjadi sesuatu hal , misalnya terjadi kecelakaan dilingkungan pekerjaan, pihak pekerja tidak akan mendapat santunan.
Sukirno mencontohkan, sebuah kejadian ketika seorang pekerja wanita yang mengalami keguguran kandungannya saat bekerja, tidak mendapat biaya perawatan apapun dari perusahaan.
“Itulah sebabnya, pada peringatan hari buruh, 2 Mei 2011 lalu, kami pihak pekerja menyuarakan keras menolak tenaga kontrak dan outsourching. Karena dinilai sangat merugikan kaum buruh. Dan hal itu kami sampaikan kepada DPRD Kota Bandung dalam pertemuan pada hari Selasa lalu , tutur Sukirno. Pertemuan yang dihadiri unsur pengurus tiga organisasi pekerja, yakni SPN, SPSI serta SPSI 1992, diharapkan agar pihak DPRD bisa mendorong lahirnya Perda tentang pelaksanaan peraturan normatif yang harus dipatuhi pengusaha.
Selain menyuarakan penolakan penggunaan tenaga kontrak, pihak organisasi buruh menyampaikan sikap dan tuntutan, antara lain agar UU No.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) direvisi karena memperbolehkan hak normatif diperselisihkan . Organisasi buruh, juga menyuarakan sikap dan tuntutan agar pemerintah segera melakukan tindakan konkrit terhadap mafia hukum Hubungan Industrial di Mahkamah Agung untuk melindungi hak-hak buruh .
“Beberapa kasus sengketa antara buruh dan majikan pada tingkat banding di MA, buruh dikalahkan. Kita tidak berburuh sangka, tapi pada kenyataannya pihak buruh selalu pada pihak yang kalah, ungkap Sukirno di Sekretariat DPC SPN Kota Bandung, Jl.Taruna 2 Bandung. (B-003) ***
Wakil Ketua DPC SPN (Serikat Pekerja Nasional) Kota Bandung, Sukirno mengemukakan hal itu menjawab pertanyaan BB, kemarin di ruang kerjanya terkait beberapa tuntutan kaum buruh yang dilontarkan pada peringatan Hari Buruh, 1 Mei baru lalu.
Selain itu menurut Sukirno, pihak Depnaker sama sekali tidak melakukan pengawasan terhadap berbagai masalah yang menyangkut buruh di perusahaan dengan alasan pihak instansi terkait tersebut kekurangan tenaga (PNS) pengawas. Seharusnya pihak Dinas Tenaga Kerja bisa membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) perusahaan yang jelas-jelas melakukan pelanggaran normatif terhadap peraturan perundang-undangan untuk diproses secara hukum. Di antaranya menempatkan tenaga kontrak atau outsourching pada bagian produksi . Penggunaan tenaga kontrak terbatas hanya untuk tenaga Satpam, katering dan cleaning service.
Dikatakan Sukirno, penggunaan tenaga kontrak merupakan akal bulus pengusaha agar bisa membayar upah lebih murah dan tidak didaftarkan untuk menjadi klien Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja). Perilaku pengusaha serupa ini, jelas menjadi ancaman bagi buruh tetap. Tenaga kerja tetap, melalui berbagai upaya sistematis diganggu agar tidak betah dan kemudian mengundurkan diri.
Setiap pekerja oleh perusahaan tempatnya bekerja wajib didaftarkan untuk menjadi anggota atau klien Jamsostek dengan iuran tetap sebesar 2% per-bulan dipotong dari upah, ditambah 3,7% dari perusahaan. Hingga total polis yang harus dibayarkan ke Jamsostek mencapai 5,7 % .
Namun pada kenyataannya menurut Sukirno, masih banyak hal yang kurang terpuji dilakukan oleh perusahaan. Mulai dari tidak menyetorkan iuran Jamsostek, mendaftarkan jumlah karyawan yang tidak sesuai dengan jumlah sebenarnya atau tidak sesuai dengan upah yang diterima pekerja. Peraturan mengenai kewajiban perusahaan untuk mendaftarkan karyawannya untuk menjadi anggota Jamsostek sudah diundangkan sejak tahun 1992. Namun sejauh ini masih banyak pekerja yang belum menjadi klien Jamsostek karena tidak didaftarkan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Hingga jika terjadi sesuatu hal , misalnya terjadi kecelakaan dilingkungan pekerjaan, pihak pekerja tidak akan mendapat santunan.
Sukirno mencontohkan, sebuah kejadian ketika seorang pekerja wanita yang mengalami keguguran kandungannya saat bekerja, tidak mendapat biaya perawatan apapun dari perusahaan.
“Itulah sebabnya, pada peringatan hari buruh, 2 Mei 2011 lalu, kami pihak pekerja menyuarakan keras menolak tenaga kontrak dan outsourching. Karena dinilai sangat merugikan kaum buruh. Dan hal itu kami sampaikan kepada DPRD Kota Bandung dalam pertemuan pada hari Selasa lalu , tutur Sukirno. Pertemuan yang dihadiri unsur pengurus tiga organisasi pekerja, yakni SPN, SPSI serta SPSI 1992, diharapkan agar pihak DPRD bisa mendorong lahirnya Perda tentang pelaksanaan peraturan normatif yang harus dipatuhi pengusaha.
Selain menyuarakan penolakan penggunaan tenaga kontrak, pihak organisasi buruh menyampaikan sikap dan tuntutan, antara lain agar UU No.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) direvisi karena memperbolehkan hak normatif diperselisihkan . Organisasi buruh, juga menyuarakan sikap dan tuntutan agar pemerintah segera melakukan tindakan konkrit terhadap mafia hukum Hubungan Industrial di Mahkamah Agung untuk melindungi hak-hak buruh .
“Beberapa kasus sengketa antara buruh dan majikan pada tingkat banding di MA, buruh dikalahkan. Kita tidak berburuh sangka, tapi pada kenyataannya pihak buruh selalu pada pihak yang kalah, ungkap Sukirno di Sekretariat DPC SPN Kota Bandung, Jl.Taruna 2 Bandung. (B-003) ***
Produksi Teh dari Jawa Barat Menguasai Ekspor ke Amerika dan Eropa
BANDUNG,(BB) – Jenis teh hitam dan teh hijau yang diproduksi perkebunan teh di Jawa Barat, menguasai pasar ekspor teh Indonesia ke Amerika Serikat, Jerman, Inggris , Belanda serta negara – negara di Asia.
Para pembeli teh, umumnya melakukan transaksi dengan cara lelang mingguan yang diselenggarakan oleh Kantor Dagang Gabungan di Jakarta. Teh asal Indonesia, selain diekspor ke Eropa juga ke Australia, Selandia Baru, Pakistan dan Jepang.
Menurut keterangan yang diperoleh dari Bagian Bina Usaha Dinas Perkebunan Jawa Barat, produksi teh nasional saat ini lebih dari 80% diproduksi dari perkebunan teh yang ada di wilayah Jawa Barat.
Bisnis perkebunan di Jabar dilakukan oleh tiga kelompok pengusaha, terdiri dari perkebunan swasta, perkebunan negara dan perkebunan rakyat. Tanaman teh sebagai salah satu produk unggulan Jawa Barat terhampar di kawasan pegunungan pada ketinggian antara 500 – 1.500 di atas permukaan laut (dpl) seluas 99. 942 hektar atau sekitar 70% dari seluruh area perkebunan teh di Indonesia.
Area perkebunan yang dikelola petani (perkebunan rakyat) seluas 52.630 hektar, perusahaan swasta 21.229 hektar dan perkebunan negara (pemerintah) seluas 26.083 hektar dengan rata-rata produksi 2.500 kg/hektar/tahun. Untuk jenis teh hijau yang diproduksi perkebunan rakyat memiliki kapasitas produksi sebesar 113.882 ton/tahun.
Sebagian produk teh hijau dilempar ke pasar domestik. Jenis teh ini banyak diminati konsumen berupa teh siap saji, teh melati serta dalam kemasan botol. Selain untuk konsumen di dalam negeri, teh hijau juga diekspor ke beberapa negara Afrika, Timur Tengah dan Asia .
Komoditas lain yang dijadikan unggulan oleh Provinsi Jawa Barat adalah karet, kopi, cengkeh, akar wangi, tebu, tembakau, kelapa dan coklat yang dikelola oleh tiga kelompok pengusaha. Perkebunan negara mengelola komoditas karet, kina, coklat, kelapa , kelapa hibrida, kelapa sawit, tebu dan teh dengan luas wilayah cakupan perkebunan 76.420 hektar.
Perkebunan swasta kurang lebih sebanyak 160 perusahaan mengelola 11 jenis komoditas berupa, teh, karet, cengkeh, akar wangi, kina, cakoilat, kelapa, kelapa hibrida, kelapa sawit, nilam dan vaneli pada area seluas 51.574 hektar.
Sementara lahan perkebunan rakyat umumnya tidak dalam satu hamparan, tercecer pada lahan sempit dengan luas total sekitar 373.012 hektar. Perkebunan rakyat membudidayakan 27 jenis komoditas, dikelola oleh lebih dari 1 juta petani yang tersebar di seluruh Jawa Barat.
Kapasitas produksi untuk komoditas unggulan, diantaranya cengkeh mencapai 5.413 ton/tahun dengan luas lahan 31.476 hektar. Kemudian coklat kapasitas produksinya 3.705 ton/tahun (luas lahan 12.512 ha), produksi karet darei total wilayah perkebunan seluas 53.243 hektar dengan kapasitas produksi sebanyak 37.767 ton/tahun .Perkebunan karet di Jabar tersebar di wilayah Subang, Purwakarta, Garut, Kab.Bandung, Ciamis dan Tasikmalaya. Hasil produksi pengolhan karet diantaranya berupa Lateks, RSS (Ribbed Smoke Shett), TPC dan SIR (Standar Indonesian Rubber). Perkebunan karet dikelola oleh perusahaan swasta ( 19.433 hektar), petani (9.271 hektar) dan perkebunan negara ( 24.530 hektar) . Kopi dengan kapasitas produksi 9.840 ton/hektar. Untuk tanaman kopi mayoritas pengelola perkebunannya adalah petani. Tebu yang tersebar di dataran rendah Jabar , antara lain di wilayah Majalengka, Cirebon., Kuningan, Subang dan Kuningan menghasilkan produksi sebesar 111.612 ton/tahun yang terhampar pada lahan seluas 23.420 hektar.
Akar wangi menghasilkan minyak atsiri benilai ekonomi tinggi. Dalam transaksi perdagangan minyak ini, biasa disebut minyak akar wangi. Keunggulan minyak akar wangi tidak mudah menguap, sehingga sangat baik untuk campuran parfum .
Indonesia menguasai sekitar 40% pangsa pasar akar wangi dunia. Komoditas ini dipasok dari wilayah Kab.Garut sebanyak 71 ton/hektar yang dibudidayakan pada lahan seluas 2.306 hektar. Minyak akar wangi 90% dipasok dari daerah Jawa Barat. (B-003) ***
Para pembeli teh, umumnya melakukan transaksi dengan cara lelang mingguan yang diselenggarakan oleh Kantor Dagang Gabungan di Jakarta. Teh asal Indonesia, selain diekspor ke Eropa juga ke Australia, Selandia Baru, Pakistan dan Jepang.
Menurut keterangan yang diperoleh dari Bagian Bina Usaha Dinas Perkebunan Jawa Barat, produksi teh nasional saat ini lebih dari 80% diproduksi dari perkebunan teh yang ada di wilayah Jawa Barat.
Bisnis perkebunan di Jabar dilakukan oleh tiga kelompok pengusaha, terdiri dari perkebunan swasta, perkebunan negara dan perkebunan rakyat. Tanaman teh sebagai salah satu produk unggulan Jawa Barat terhampar di kawasan pegunungan pada ketinggian antara 500 – 1.500 di atas permukaan laut (dpl) seluas 99. 942 hektar atau sekitar 70% dari seluruh area perkebunan teh di Indonesia.
Area perkebunan yang dikelola petani (perkebunan rakyat) seluas 52.630 hektar, perusahaan swasta 21.229 hektar dan perkebunan negara (pemerintah) seluas 26.083 hektar dengan rata-rata produksi 2.500 kg/hektar/tahun. Untuk jenis teh hijau yang diproduksi perkebunan rakyat memiliki kapasitas produksi sebesar 113.882 ton/tahun.
Sebagian produk teh hijau dilempar ke pasar domestik. Jenis teh ini banyak diminati konsumen berupa teh siap saji, teh melati serta dalam kemasan botol. Selain untuk konsumen di dalam negeri, teh hijau juga diekspor ke beberapa negara Afrika, Timur Tengah dan Asia .
Komoditas lain yang dijadikan unggulan oleh Provinsi Jawa Barat adalah karet, kopi, cengkeh, akar wangi, tebu, tembakau, kelapa dan coklat yang dikelola oleh tiga kelompok pengusaha. Perkebunan negara mengelola komoditas karet, kina, coklat, kelapa , kelapa hibrida, kelapa sawit, tebu dan teh dengan luas wilayah cakupan perkebunan 76.420 hektar.
Perkebunan swasta kurang lebih sebanyak 160 perusahaan mengelola 11 jenis komoditas berupa, teh, karet, cengkeh, akar wangi, kina, cakoilat, kelapa, kelapa hibrida, kelapa sawit, nilam dan vaneli pada area seluas 51.574 hektar.
Sementara lahan perkebunan rakyat umumnya tidak dalam satu hamparan, tercecer pada lahan sempit dengan luas total sekitar 373.012 hektar. Perkebunan rakyat membudidayakan 27 jenis komoditas, dikelola oleh lebih dari 1 juta petani yang tersebar di seluruh Jawa Barat.
Kapasitas produksi untuk komoditas unggulan, diantaranya cengkeh mencapai 5.413 ton/tahun dengan luas lahan 31.476 hektar. Kemudian coklat kapasitas produksinya 3.705 ton/tahun (luas lahan 12.512 ha), produksi karet darei total wilayah perkebunan seluas 53.243 hektar dengan kapasitas produksi sebanyak 37.767 ton/tahun .Perkebunan karet di Jabar tersebar di wilayah Subang, Purwakarta, Garut, Kab.Bandung, Ciamis dan Tasikmalaya. Hasil produksi pengolhan karet diantaranya berupa Lateks, RSS (Ribbed Smoke Shett), TPC dan SIR (Standar Indonesian Rubber). Perkebunan karet dikelola oleh perusahaan swasta ( 19.433 hektar), petani (9.271 hektar) dan perkebunan negara ( 24.530 hektar) . Kopi dengan kapasitas produksi 9.840 ton/hektar. Untuk tanaman kopi mayoritas pengelola perkebunannya adalah petani. Tebu yang tersebar di dataran rendah Jabar , antara lain di wilayah Majalengka, Cirebon., Kuningan, Subang dan Kuningan menghasilkan produksi sebesar 111.612 ton/tahun yang terhampar pada lahan seluas 23.420 hektar.
Akar wangi menghasilkan minyak atsiri benilai ekonomi tinggi. Dalam transaksi perdagangan minyak ini, biasa disebut minyak akar wangi. Keunggulan minyak akar wangi tidak mudah menguap, sehingga sangat baik untuk campuran parfum .
Indonesia menguasai sekitar 40% pangsa pasar akar wangi dunia. Komoditas ini dipasok dari wilayah Kab.Garut sebanyak 71 ton/hektar yang dibudidayakan pada lahan seluas 2.306 hektar. Minyak akar wangi 90% dipasok dari daerah Jawa Barat. (B-003) ***
Perburuhan, Buah Si Malakalma
PULUHAN ribu buruh dari Botabek, berhimpun di tiga titik utama di Jakarta. Di depan Gedung DPR/MPR, Gedung Kementerian Nakertrans, dan Istana Negara. Begitu pula buruh di semua daerah di seluruh Indonesia melakukan hal yang sama. Merayakan Hari Buruh Internasional atau May Day. Mereka berunjukrasa, meminta pemerintah menghapuskan sistem outsourcing (alih daya), melaksanakan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial (SJS), serta mengesahkan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Tuntutan buruh Indonesia yang disampaikan melalui unjuk rasa hari Minggu itu memang sangat sederhana dan normatif. Ada demo di beberapa daerah yang tuntutannya agak meluas. Misalnya para guru honorer yang menuntut peningkartan status dari honorer menjadi PNS. Ada pula yang meminta pemerintah menekan pengusaha agar tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Tentang SJS dan BPJS, domeinnya masih pada tataran legislatif. RUU itu sedang diselesaikan.. Menurut UU itu, jaminan sosial harus diberikan kepada seluruh rakyat Indonesia. Rakyat berhak mendapat perlindungan secara sosial dan finansial, selama mereka masih hidup. Masalahnya, apakah pemerintah mampu memberikan perlindungan kepada rakyat yang jumlahnya makin lama makin besar?
Sebetulnya hal itu sudah diterakan pada UUD 45. Namun sejak UUD itu diberlakukan sampai hari ini, pemerintah belum mampu menanggung kehidupan rakyatnya yang miskin. Artinya pemerintah atau bangsa dan negara ini belum melaksanakan UUD-nya secara konsekuen. Bahwa anak telantar dan orang miskin menjadi tanggungan negara. Pada kenyataannya mereka yang terpaksa menjadi “kembang” lampu merah dan penghuni rumah kumuh, terus berkembang.
Berkaitan dengan tuntutan kaum buruh itu, Presiden SBY berjanji akan terus berjuang, semua perusahaan tidak mudah melakukan PHK. Penegasan Presiden itu disampaikan di Cileungsi Bogor pada saat bersamaan dengan pelaksanaan demo buruh. Permintaan Presiden itu sungguh populis. Di mata buruh, Presiden mendapat point sangat tinggi. Namun pasti Presiden juga maphum, dari kacamata pengusaha, hal itu merupakan sesuatu yang sangat dilematis.
Dalam situsi berusaha yang kurang menguntungkan, tindakan PHK amat sulit dihindarkan. Pengusaha merasakan, suasana kurang kondusif, ada ancaman keamanan, teror bom, dan ketidakberdayaan pemerintah menghadapi serbuan produk China. Mereka sudah mengambil ancang-ancang, melakukan relokasi, menurunkan kapasitas produksinya, dan melakukan rasionalisasi. Dalam situasi seperti itu, PHK merupakan cara yang paling efektif. Mereka tidak mungkin meneruskan usahanya sambil mempertahankan jumlah buruh padahal kebangkrutan sudah di ambang mata.
Bagi buruh, PHK merupakan martil yang sewaktu-waktu bisa menghantam kepalanya. Dunia seolah-olah runtuh bagi buruh yang terkena PHK. Rencana kehidupannya yang dirancangnya sejak awal, tiba-tiban berantakan. Ia menjadi penganggur yang samasekali tidak punya penghasilan, apalagi masa depan. Karena itu PHK merupakan vonis mati yang sungguh amat menakutkan kaum buruh.
Satu-satunya harapan bagi semua kaum buruh yang rentan PHK hanyalah jaminan sosial. Apabila pemerintah mampu melaksanakan UU tentang sistem jaminan sosial, PHK bukan lagi vonis mati. Mereka masih bisa bergantung pada jaminan sosial yang diberikan pemerintah.
Memang ada semacam kecemasan pemerintah, apabila jaminan sosial bagi semua rakyat itu diberlakukan, dikhawatirkan banyak rakyat yang justru menjadi malas. Mereka merasa tidak usah bekerja karena menjadi penganggur juga mendapat jaminan hidup.Tampaknya pemerintah dan rakyat harus belajar dari pengalaman orang luar. Jaminan sosial itu sudah puluhan bahkan seratus tahun lebih, diberlakukan di beberapa negara. Penganggur mendapat jaminan hidup dari pemerintah. Namun orang yang menerima jaminan itu selalu brusaha mendapat pekerjaan karena ia merasa malu terus menerus mendapat jaminan dari pemerintah.
Apakah bangsa kita masih memiliki budaya malu? Pertanyaan beikutnya, bisakah pemerintah berlaku jujur? Di Inggris, misalnya, begitu ada orang terpaksa jobless, dalam waktu satu dua hari, ia menerima kartu jaminan yang dapat diuangkan di mana saja. Kartu itu juga berlaku bagi pengobatan di rumah sakit, transportasi umum, dan pemakaman. ***
Tuntutan buruh Indonesia yang disampaikan melalui unjuk rasa hari Minggu itu memang sangat sederhana dan normatif. Ada demo di beberapa daerah yang tuntutannya agak meluas. Misalnya para guru honorer yang menuntut peningkartan status dari honorer menjadi PNS. Ada pula yang meminta pemerintah menekan pengusaha agar tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Tentang SJS dan BPJS, domeinnya masih pada tataran legislatif. RUU itu sedang diselesaikan.. Menurut UU itu, jaminan sosial harus diberikan kepada seluruh rakyat Indonesia. Rakyat berhak mendapat perlindungan secara sosial dan finansial, selama mereka masih hidup. Masalahnya, apakah pemerintah mampu memberikan perlindungan kepada rakyat yang jumlahnya makin lama makin besar?
Sebetulnya hal itu sudah diterakan pada UUD 45. Namun sejak UUD itu diberlakukan sampai hari ini, pemerintah belum mampu menanggung kehidupan rakyatnya yang miskin. Artinya pemerintah atau bangsa dan negara ini belum melaksanakan UUD-nya secara konsekuen. Bahwa anak telantar dan orang miskin menjadi tanggungan negara. Pada kenyataannya mereka yang terpaksa menjadi “kembang” lampu merah dan penghuni rumah kumuh, terus berkembang.
Berkaitan dengan tuntutan kaum buruh itu, Presiden SBY berjanji akan terus berjuang, semua perusahaan tidak mudah melakukan PHK. Penegasan Presiden itu disampaikan di Cileungsi Bogor pada saat bersamaan dengan pelaksanaan demo buruh. Permintaan Presiden itu sungguh populis. Di mata buruh, Presiden mendapat point sangat tinggi. Namun pasti Presiden juga maphum, dari kacamata pengusaha, hal itu merupakan sesuatu yang sangat dilematis.
Dalam situsi berusaha yang kurang menguntungkan, tindakan PHK amat sulit dihindarkan. Pengusaha merasakan, suasana kurang kondusif, ada ancaman keamanan, teror bom, dan ketidakberdayaan pemerintah menghadapi serbuan produk China. Mereka sudah mengambil ancang-ancang, melakukan relokasi, menurunkan kapasitas produksinya, dan melakukan rasionalisasi. Dalam situasi seperti itu, PHK merupakan cara yang paling efektif. Mereka tidak mungkin meneruskan usahanya sambil mempertahankan jumlah buruh padahal kebangkrutan sudah di ambang mata.
Bagi buruh, PHK merupakan martil yang sewaktu-waktu bisa menghantam kepalanya. Dunia seolah-olah runtuh bagi buruh yang terkena PHK. Rencana kehidupannya yang dirancangnya sejak awal, tiba-tiban berantakan. Ia menjadi penganggur yang samasekali tidak punya penghasilan, apalagi masa depan. Karena itu PHK merupakan vonis mati yang sungguh amat menakutkan kaum buruh.
Satu-satunya harapan bagi semua kaum buruh yang rentan PHK hanyalah jaminan sosial. Apabila pemerintah mampu melaksanakan UU tentang sistem jaminan sosial, PHK bukan lagi vonis mati. Mereka masih bisa bergantung pada jaminan sosial yang diberikan pemerintah.
Memang ada semacam kecemasan pemerintah, apabila jaminan sosial bagi semua rakyat itu diberlakukan, dikhawatirkan banyak rakyat yang justru menjadi malas. Mereka merasa tidak usah bekerja karena menjadi penganggur juga mendapat jaminan hidup.Tampaknya pemerintah dan rakyat harus belajar dari pengalaman orang luar. Jaminan sosial itu sudah puluhan bahkan seratus tahun lebih, diberlakukan di beberapa negara. Penganggur mendapat jaminan hidup dari pemerintah. Namun orang yang menerima jaminan itu selalu brusaha mendapat pekerjaan karena ia merasa malu terus menerus mendapat jaminan dari pemerintah.
Apakah bangsa kita masih memiliki budaya malu? Pertanyaan beikutnya, bisakah pemerintah berlaku jujur? Di Inggris, misalnya, begitu ada orang terpaksa jobless, dalam waktu satu dua hari, ia menerima kartu jaminan yang dapat diuangkan di mana saja. Kartu itu juga berlaku bagi pengobatan di rumah sakit, transportasi umum, dan pemakaman. ***
Daerah Otonom Hasil Pemerkaran
WARGA Jawa Barat patut bangga, Kota Cimahi merupakan daerah otonom hasil pemekaran yang meraih predikat dua terbaik secara nasional. Dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota hasil pemekaran periode tahun 1999 – 2009, hanya dua kota yang mendapat nilai lebih dari 60 dari totakl nilai 100. Yang pertama Kota Banjarbaru di Kalimantan Selatan meraih angka 64,61. Kedua, Kota Cimahi di Provinsi Jawa Barat yang mendapat nilai 60,43.
Sejak undang-undang otonomi daearh diberlakukan, banyak daerah di Indonesia yang bersemangat memisahkan diri dari induk asalnya. Pemekaran daerah otonom itu memang dibuka selebar-lebarnya oleh aturan dan peerundang-undangan. Semkangat “memisdahkan diri” itu makin kuat karena didorong oleh kaum elit, baik elit politik di DPR/DPRD maupun elit birokrasi.
Alasan yang dicantumkan dalam proposal pemuisahan juga sungguh masuk akal, untuk meiningatkan kesejahteraan rakyat. Para elit daerah itu merasakan, selama berada di bawah birokrasi provinsi, kota, atau kabupaten lama, daerahnya tertinggal, kurang mendapat perhatian, tidak terjangkau karena jauh, dan sebagainya. Tentu saja masyarakat setempat mendukung keinginan para elit itu. Berpuluh-puluh tahun, bahkan sejak Proklamasi Kemerdekaan RI, pembangunan selalu terpusat di ibu kota, baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Masyarakat di luar itu seolah-olah terlupakan.
Dengan harapan akan ada peningkatan kesejahteraan, rakyat di semua daerah melakukan gerakan mendorong terbentuknya wilayah dan pemerintahan baru. Gerakan berupa unjuk rasa menjadi lumrah diloakukan masyarakat. Gerakan itu membuat para elit politik di DPRD juga terdorong membuat keputusan sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Sampai tahun 2011 ini terbentuk 205 daerah otonom baru, 57 di antaranya baru berusia 0 – 3 tahun. Jangankan yang baru berusia 1-3 tahun, yang sudah cukup umur puin kebanyakan belum menunjukkan tingkat kemandirian yang prospektif. Baik dalam hal pemerintahan, pelayanan masyarakat, maupun daya saing daerah, dinilai masih sangat rendah. Apalagi dalam tingkat kesejahteran rakyat yang menjadi target utama, nilainya amat rendah.
Selama ini daerah otonom baru masih menjadi beban APBN bahkan ada belum mampu menolak bimbingan dan bantuan daerah otonom bekas induknya. Pendapatan asli daerah yang dijadikan andalan utama dalam menjalankan roda pemerintahan, pada kenyataannya belum memberikan kontribusi berarti. Yang baru tampak ke permukaan, lapangan kerja bagi birokrat, kedudukan bagi elit pemeintahan, kedudukan sebagai wakil rakyat bagi para elit politik, Selain itu, ada masalah yang sulit terselesaikan, yakni asset daerah. Di mana-mana, antara daerah induk dan daerah otonom baru, terjadi “percekcokan” masalah aset daerah. Terdengar agak aneh ketika dua daerah otonom bersitegang bahkan sampai ke meja hijau, gara-gara aset daerah.
Melihat kenyataan seperti itu, wajar bila DPR dan pemerintah pusat mengerem dulu laju pertumbuhan daerah otonom baru. Wajar pula apabila pemerintah pusat melakukan pengkajian lebih mendalam terhadap pemekaran daerah. Secara undang-undang harus ada indicator yang jelas tentang pemekaran, baik SDM, maupun potensi ekonomi daerah tersebut. Bila perlu, pemerintah pusat menentukan batas waktu. Misalnya dalam kurun waktu 20 tahun secara manajemen, pemerintah daerah otonom baru itu harus sudah mencapai break event point (BEP). Indokatornya bukan hanya APBD-nya sudah berimbang, tetapi juga tingkat kesejahteran rakyatnya. Apabaila pada awal pemekaran rata-rata pendapatan masyarakat di bawah Rp 1 juta perbulan, lima tahun berikutnya harus di atas Rp 1 juta.
Tingkat kesejahteraan rakyat harus menjadi indikator penilaian, karena hal itulah yang menjadi alasan utama ketika suatu daerah ingin menjadi daerah otonom baru. Apabila hal itu tidak terpenuhi, rakyat punya hak menuntut. ***
Sejak undang-undang otonomi daearh diberlakukan, banyak daerah di Indonesia yang bersemangat memisahkan diri dari induk asalnya. Pemekaran daerah otonom itu memang dibuka selebar-lebarnya oleh aturan dan peerundang-undangan. Semkangat “memisdahkan diri” itu makin kuat karena didorong oleh kaum elit, baik elit politik di DPR/DPRD maupun elit birokrasi.
Alasan yang dicantumkan dalam proposal pemuisahan juga sungguh masuk akal, untuk meiningatkan kesejahteraan rakyat. Para elit daerah itu merasakan, selama berada di bawah birokrasi provinsi, kota, atau kabupaten lama, daerahnya tertinggal, kurang mendapat perhatian, tidak terjangkau karena jauh, dan sebagainya. Tentu saja masyarakat setempat mendukung keinginan para elit itu. Berpuluh-puluh tahun, bahkan sejak Proklamasi Kemerdekaan RI, pembangunan selalu terpusat di ibu kota, baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Masyarakat di luar itu seolah-olah terlupakan.
Dengan harapan akan ada peningkatan kesejahteraan, rakyat di semua daerah melakukan gerakan mendorong terbentuknya wilayah dan pemerintahan baru. Gerakan berupa unjuk rasa menjadi lumrah diloakukan masyarakat. Gerakan itu membuat para elit politik di DPRD juga terdorong membuat keputusan sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Sampai tahun 2011 ini terbentuk 205 daerah otonom baru, 57 di antaranya baru berusia 0 – 3 tahun. Jangankan yang baru berusia 1-3 tahun, yang sudah cukup umur puin kebanyakan belum menunjukkan tingkat kemandirian yang prospektif. Baik dalam hal pemerintahan, pelayanan masyarakat, maupun daya saing daerah, dinilai masih sangat rendah. Apalagi dalam tingkat kesejahteran rakyat yang menjadi target utama, nilainya amat rendah.
Selama ini daerah otonom baru masih menjadi beban APBN bahkan ada belum mampu menolak bimbingan dan bantuan daerah otonom bekas induknya. Pendapatan asli daerah yang dijadikan andalan utama dalam menjalankan roda pemerintahan, pada kenyataannya belum memberikan kontribusi berarti. Yang baru tampak ke permukaan, lapangan kerja bagi birokrat, kedudukan bagi elit pemeintahan, kedudukan sebagai wakil rakyat bagi para elit politik, Selain itu, ada masalah yang sulit terselesaikan, yakni asset daerah. Di mana-mana, antara daerah induk dan daerah otonom baru, terjadi “percekcokan” masalah aset daerah. Terdengar agak aneh ketika dua daerah otonom bersitegang bahkan sampai ke meja hijau, gara-gara aset daerah.
Melihat kenyataan seperti itu, wajar bila DPR dan pemerintah pusat mengerem dulu laju pertumbuhan daerah otonom baru. Wajar pula apabila pemerintah pusat melakukan pengkajian lebih mendalam terhadap pemekaran daerah. Secara undang-undang harus ada indicator yang jelas tentang pemekaran, baik SDM, maupun potensi ekonomi daerah tersebut. Bila perlu, pemerintah pusat menentukan batas waktu. Misalnya dalam kurun waktu 20 tahun secara manajemen, pemerintah daerah otonom baru itu harus sudah mencapai break event point (BEP). Indokatornya bukan hanya APBD-nya sudah berimbang, tetapi juga tingkat kesejahteran rakyatnya. Apabaila pada awal pemekaran rata-rata pendapatan masyarakat di bawah Rp 1 juta perbulan, lima tahun berikutnya harus di atas Rp 1 juta.
Tingkat kesejahteraan rakyat harus menjadi indikator penilaian, karena hal itulah yang menjadi alasan utama ketika suatu daerah ingin menjadi daerah otonom baru. Apabila hal itu tidak terpenuhi, rakyat punya hak menuntut. ***
Kualitas Pekerjaan
LAPANGAN kerja di Indonesia bergeser dari industri, baik pengolahan maupun manufaktur, ke sektor jasa. Menurut laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) PBB, ketenaga-kerjaan Indonesia sejak krisis moneter 1998 belum menunjukkan kemajuan berarti. Lapangan kerja di sektor pertanian menurun sampai 5,6 persen. Jumlah pekerjaan di sektor industri dan manufaktur turun 0,8 persen. Sedangkan lapangan kerja di sektor jasa naik 2 persen.
Benar, sektor jasa mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak, namun tidak mampu mengurangi jumlah tenaga kerja yang putus di sektor pertanian dan industri. Selain itu bidang pekerjaan di sektor jasa belum optimal Sektor jasa belum mampu memberikan jaminan layak bagi para pekerja. Angkatan kerja muda masih belum terserap ke dalam bidang pekerjaan sektor formal yang produktif.
Di Jabar ada laporan yang membesarkan hati, angka pengangguran menurun, target penyerapan tenaga kerja tahun 2010-2011 jauh terlampaui. Pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf mencanangkan penyerapan satu juta tenaga kerja. Angka satu juta itu sudah terpenuhi bahkan terlampaui. Lalu mengapa ILO menyebutkan ketenaga-kerjaan Indonesia belum beranjak dari keadaan saat krisis moneter 1998?
. Dilihat dari angka, terjadi penurunan angka penganggur dan kenaikan penyerapan tenaga kerja. Yang patut mendapat perhatian, ketersediaan lapangan kerjanya. Hampir dapat dipastikan, sektor jasa dan sektor informal yang terbuka lebar. Sektor itulah yang menyerap tenaga kerja lebih dari satu juta orang tersebut. Sektor formal dan lapangan kerja berkualitas, seperti sektor industri dan manufaktur, boleh dikatakan tidak tersedia.
Hal itu dapat dipahami karena sektor industri di Jabar akhir-akhir ini mengalami stagnasi, terutama industri tekstil dan garmen. Banyak pabrik tekstil yang melakukan relokasi atau menutup usahanya Sedangkan sektor pertanmian, selain semakin tidak menarik bagi tenaga kerja muda juga terkendala dengan upah buruh yang masih sangat kecil. Industri garmen semakin kalah bersaing baik di pasar domestic maupun pasar global. Masuknya produk China berakibat terdesaknya produk domestik
Akibat lanjutannya sudah jelas yakni berkurangnya daya serap industri terhadap angkatan kerja. PHK yang terjadi pada sektor industri berdampak pada menumpuknya tenaga kerja atau angka penganggur. Secara kumulatif, jumlah tenaga kerja menjadi semakin tinggi. Kalau sekarang tenaga kerja tersebut terserap, selain angkanya tidak terlalu signifikan juga lapangan kerja yang menyerapnya tidak seberkualitas sektor industri dan manufaktur. Sektor jasa seperti pelayan took, maintenans di distro, mal, operator mesin permainan, tampaknya tidak memiliki jaminan masa depan yang prospektif bagi para pekerjanya. Keterpurukan, bahkan kebangkrutan selalu menjadi bayng-bayang yang mengkhawatirkan para pekerja.
Amat logis, orang berbondong-bondong ikut serta pada setiap kali ada ujian penerimaan calon pegawai negeri sipil. Dilihat dari segi apapun, PNS menjanjikan tingkat kesejahteraan yang lebih mapan serta jaminan masa tua yang memang jelas. Namun tentu saja, daya serap pemerintahan sangat kecil dibandingkan dengan makin membengkaknya angkatan kerja.
Pemerintah diharapkan mampu mendorong tumbuhnya sector industri yang mampu menyerap tenaga kerja. Bukan berarti sector jasa tidak punya kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja. Sektor itu penting dikembangkan karena dalam kenyataannya, sektor tersebut merupakan katup pengaman terhadap makin membengkaknya tenaga kerja. Peluang ketenagakerjaan masih ada, antara lain pertumbuhan industri kreatif yang cukup cepat. Hal itu dapa menjadi andalan Jawa Barat dalam menjawab kebutuhan lapangan kerja. Peluang kerja di luar negeri juga masih terbuka. Namun kita tidak boleh berbangga diri dengan kemampuan Jabar dalam pengiriman TKI. Peristiwa kriminal penganiayaan dan pemerkosaan atas TKW seolah-olah menjadi paket dalam pengiriman TKW.
Pengiriman TKI, khususnya TKW ke luar negeri sudah waktunya dikaji ulang. Pengiriman TKI yang tidak terdidik bahkan tidak punya keterampilan, hanya akan menurunkan gengsi kita sebagai bangsa berpendidikan. ***
Benar, sektor jasa mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak, namun tidak mampu mengurangi jumlah tenaga kerja yang putus di sektor pertanian dan industri. Selain itu bidang pekerjaan di sektor jasa belum optimal Sektor jasa belum mampu memberikan jaminan layak bagi para pekerja. Angkatan kerja muda masih belum terserap ke dalam bidang pekerjaan sektor formal yang produktif.
Di Jabar ada laporan yang membesarkan hati, angka pengangguran menurun, target penyerapan tenaga kerja tahun 2010-2011 jauh terlampaui. Pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf mencanangkan penyerapan satu juta tenaga kerja. Angka satu juta itu sudah terpenuhi bahkan terlampaui. Lalu mengapa ILO menyebutkan ketenaga-kerjaan Indonesia belum beranjak dari keadaan saat krisis moneter 1998?
. Dilihat dari angka, terjadi penurunan angka penganggur dan kenaikan penyerapan tenaga kerja. Yang patut mendapat perhatian, ketersediaan lapangan kerjanya. Hampir dapat dipastikan, sektor jasa dan sektor informal yang terbuka lebar. Sektor itulah yang menyerap tenaga kerja lebih dari satu juta orang tersebut. Sektor formal dan lapangan kerja berkualitas, seperti sektor industri dan manufaktur, boleh dikatakan tidak tersedia.
Hal itu dapat dipahami karena sektor industri di Jabar akhir-akhir ini mengalami stagnasi, terutama industri tekstil dan garmen. Banyak pabrik tekstil yang melakukan relokasi atau menutup usahanya Sedangkan sektor pertanmian, selain semakin tidak menarik bagi tenaga kerja muda juga terkendala dengan upah buruh yang masih sangat kecil. Industri garmen semakin kalah bersaing baik di pasar domestic maupun pasar global. Masuknya produk China berakibat terdesaknya produk domestik
Akibat lanjutannya sudah jelas yakni berkurangnya daya serap industri terhadap angkatan kerja. PHK yang terjadi pada sektor industri berdampak pada menumpuknya tenaga kerja atau angka penganggur. Secara kumulatif, jumlah tenaga kerja menjadi semakin tinggi. Kalau sekarang tenaga kerja tersebut terserap, selain angkanya tidak terlalu signifikan juga lapangan kerja yang menyerapnya tidak seberkualitas sektor industri dan manufaktur. Sektor jasa seperti pelayan took, maintenans di distro, mal, operator mesin permainan, tampaknya tidak memiliki jaminan masa depan yang prospektif bagi para pekerjanya. Keterpurukan, bahkan kebangkrutan selalu menjadi bayng-bayang yang mengkhawatirkan para pekerja.
Amat logis, orang berbondong-bondong ikut serta pada setiap kali ada ujian penerimaan calon pegawai negeri sipil. Dilihat dari segi apapun, PNS menjanjikan tingkat kesejahteraan yang lebih mapan serta jaminan masa tua yang memang jelas. Namun tentu saja, daya serap pemerintahan sangat kecil dibandingkan dengan makin membengkaknya angkatan kerja.
Pemerintah diharapkan mampu mendorong tumbuhnya sector industri yang mampu menyerap tenaga kerja. Bukan berarti sector jasa tidak punya kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja. Sektor itu penting dikembangkan karena dalam kenyataannya, sektor tersebut merupakan katup pengaman terhadap makin membengkaknya tenaga kerja. Peluang ketenagakerjaan masih ada, antara lain pertumbuhan industri kreatif yang cukup cepat. Hal itu dapa menjadi andalan Jawa Barat dalam menjawab kebutuhan lapangan kerja. Peluang kerja di luar negeri juga masih terbuka. Namun kita tidak boleh berbangga diri dengan kemampuan Jabar dalam pengiriman TKI. Peristiwa kriminal penganiayaan dan pemerkosaan atas TKW seolah-olah menjadi paket dalam pengiriman TKW.
Pengiriman TKI, khususnya TKW ke luar negeri sudah waktunya dikaji ulang. Pengiriman TKI yang tidak terdidik bahkan tidak punya keterampilan, hanya akan menurunkan gengsi kita sebagai bangsa berpendidikan. ***
Bisakah Petani Tentukan Harga Gabah?
DAERAH Pantura Jawa Barat memasuki musim panen rending. Seperti pada setiap musim panen, harga gabah terus melorot. Dalam tempo hanya dua minggu, harga gabah yang mencapai Rp 4.700/kg, mulai Rabu minggu kedua bulan ini, merost sampai Rp 2.500/kg. Para petani belum bisa memastikan berapa harga paling rendah musim ini namun yang pasti petani selalu mengalami kerugian setiap panen datang.
Pemerintah hampir selalu ter tinggal ketika harus betrloma dengan kaum spekulan, tengkulak, atau ijon. Para pengijon, sejak mulai musim tanam, sudah mengambil ancang-ancang. Mereka menyebar modal untuk mengolah sawah. Ketika mendekati musim panen, kendali harga sudah mereka tentukan. Pada dasarnya musim panen di mana pun benar-benar di bawah kendali para pelepas uang.
Bukan hanya padi, semua hasil pertanian di negara kita, berada dalam genggaman kaum pengijon. Hal itu sudah berlangsung sejak dulu kala. Karena itu para pengijon sangat berpengalaman dalam mengendalikan harga hasil pertanian. Sedangkan pemerintah baru akan melangkah apabila musim panmen berakhir. Dolog menentukan harga dasar gabah berdasarkan perhitungan biaya produksi ditambah nilai keuntungan bagi petani. Perhitungan itu baru keluar setelah diketahui secara pasti hasil perhitungan tersebut. Sedangkan kaum spekulan melakukan operasi sesuai dengan kebutuhan para petani.
Harga gabah akan kembnali naik, beberapa saat setelah panen usai. Pada musim tanam berikutnya, ketrika para petani membutuhkan modal, rata-rata mereka tidak punya persediaan gabah lagi. Pada saat itu harga gabah terus naik dan kembali pada harga tertinggi, dua atau tiga kali lipat harga gabah pada musum panen. Kebanyakan petani hanya bias gigiot jari, tidak peernah menikmati tingginya harga jual gabah. Sedangkan kebutuhan akan modal, harus dipenuhi. Kembali lagi para pengijon dating “menyelamatkan” para petani.
Adakah upaya pemerintah memperbaiki kehidupan para petani? Mungkin ada, antara lain penawaran kredit tanpa agunan, pinjaman modal bergulir, membuka akses perbankan. Namun usaha itu belum berhasil memerangi peran para tengkulak dan mengangkat kehidupan para petani.
Memang yang harus mengubah nasib para petani itu, para petani sendiri. Mereka harus mampu mengubah pola hidupnya. Mereka juga haerus berkemampuan “melawan” para spekulan, pengijon, dan tengkulak. Sekarang sudah ada petani yang mulai melakukan gerakan, tidak menjual padi pada musim panen, tyeruata musim panen rendeng. Mereka menyimpan gabahnya terlebih dahulu, baru mengeluarkannya pada saat harga membaik.
Sebetulnya secara tradisional petani kita melakukan cara seperti itu. Mereka pantang mengeluarkan hasil panen di sawah atau di kebun. Hasil panen, bahkan dengan upacara adapt, dibawa ke rumah dan disimpan di gudang. Pisang diperam dulu, tomat, cabai, dan sebagainya, dipilah dan dipilih dulu baru dijual. Padi atau gabah hasil panen, dijemur dan diikat di sawah. Secara bersama-sama—diprakarsai kuwu atau tetua kampong, melakukan ritual membawa padi ke lumbung. Kegembiraan musim panen tergambar pada upacara menyimpan padi. Padi yang disimpan di lumbung, ;pasti padi yang sudah benar-benar kering.
Para petani tradisional itu akan menggunakan hasil panennya setelah semua keperluan dipenuhi. Misalnya, pajak (di Baduy disebut seba), perelek, urunan desa, persediaan benih, dan sebagainya. Mereka memperlakukan hasil panen dengan sangat apik. Tak ada padi yang tercecer, baik di sawah maupun di tempat penjemuran dan di jalan. Hasil panen relatif tidak ada yang terbuang. Perlakuan pasca-panen seperti itu justru sudah tidak lagi dimiliki para petani sekarang. Konon lebih datri 20 persen hasil panen, terutama padi, terbuang percuma.
Tampaknya, petani sekarang bisa belajar dari tata cara bertani dan perlakukan terhadap hasil panen para petani tradisional. Tentui saja tidak membuang ilmu dan teknologi pertanian yang memang sangat modern. Cara bercocok tanamnya harus sesuai dengan kemajuan teknologi pertanian. Namun perlakukan terhadap hasil panen (pasca-panen ) tidak ada salahnya bila kita mengadopsi kebiasaan yang baik, para leluhur kita. Selain hasil panennya akan benar-benar berkualitas, dengan cara itu para petani terhindar dari perilaku para spekulan. Para petanilah yang harus menentukan harga jual gabah miliknya.
Tidak cepat menjual hasil panen (khususnya padi) merupakan upaya terbaik agar petani dapat menikmati harga gabah yang baik. Namun upaya itu sangat sulit dilaksanakan terutama oleh buruh tani. Mereka terpaksa harus menjual padi upah kerjanya meskipun masih basah. Untuk menyelamatkan para petani, termasuk buruh tani,dari fluktuasi harga hasil pertanian, pemerintah harus turun tangan. Intervensi pemerintah dapat dilakukan dengan cara penerangan, pendampingan, dan stimulasi permodalan. ***
Pemerintah hampir selalu ter tinggal ketika harus betrloma dengan kaum spekulan, tengkulak, atau ijon. Para pengijon, sejak mulai musim tanam, sudah mengambil ancang-ancang. Mereka menyebar modal untuk mengolah sawah. Ketika mendekati musim panen, kendali harga sudah mereka tentukan. Pada dasarnya musim panen di mana pun benar-benar di bawah kendali para pelepas uang.
Bukan hanya padi, semua hasil pertanian di negara kita, berada dalam genggaman kaum pengijon. Hal itu sudah berlangsung sejak dulu kala. Karena itu para pengijon sangat berpengalaman dalam mengendalikan harga hasil pertanian. Sedangkan pemerintah baru akan melangkah apabila musim panmen berakhir. Dolog menentukan harga dasar gabah berdasarkan perhitungan biaya produksi ditambah nilai keuntungan bagi petani. Perhitungan itu baru keluar setelah diketahui secara pasti hasil perhitungan tersebut. Sedangkan kaum spekulan melakukan operasi sesuai dengan kebutuhan para petani.
Harga gabah akan kembnali naik, beberapa saat setelah panen usai. Pada musim tanam berikutnya, ketrika para petani membutuhkan modal, rata-rata mereka tidak punya persediaan gabah lagi. Pada saat itu harga gabah terus naik dan kembali pada harga tertinggi, dua atau tiga kali lipat harga gabah pada musum panen. Kebanyakan petani hanya bias gigiot jari, tidak peernah menikmati tingginya harga jual gabah. Sedangkan kebutuhan akan modal, harus dipenuhi. Kembali lagi para pengijon dating “menyelamatkan” para petani.
Adakah upaya pemerintah memperbaiki kehidupan para petani? Mungkin ada, antara lain penawaran kredit tanpa agunan, pinjaman modal bergulir, membuka akses perbankan. Namun usaha itu belum berhasil memerangi peran para tengkulak dan mengangkat kehidupan para petani.
Memang yang harus mengubah nasib para petani itu, para petani sendiri. Mereka harus mampu mengubah pola hidupnya. Mereka juga haerus berkemampuan “melawan” para spekulan, pengijon, dan tengkulak. Sekarang sudah ada petani yang mulai melakukan gerakan, tidak menjual padi pada musim panen, tyeruata musim panen rendeng. Mereka menyimpan gabahnya terlebih dahulu, baru mengeluarkannya pada saat harga membaik.
Sebetulnya secara tradisional petani kita melakukan cara seperti itu. Mereka pantang mengeluarkan hasil panen di sawah atau di kebun. Hasil panen, bahkan dengan upacara adapt, dibawa ke rumah dan disimpan di gudang. Pisang diperam dulu, tomat, cabai, dan sebagainya, dipilah dan dipilih dulu baru dijual. Padi atau gabah hasil panen, dijemur dan diikat di sawah. Secara bersama-sama—diprakarsai kuwu atau tetua kampong, melakukan ritual membawa padi ke lumbung. Kegembiraan musim panen tergambar pada upacara menyimpan padi. Padi yang disimpan di lumbung, ;pasti padi yang sudah benar-benar kering.
Para petani tradisional itu akan menggunakan hasil panennya setelah semua keperluan dipenuhi. Misalnya, pajak (di Baduy disebut seba), perelek, urunan desa, persediaan benih, dan sebagainya. Mereka memperlakukan hasil panen dengan sangat apik. Tak ada padi yang tercecer, baik di sawah maupun di tempat penjemuran dan di jalan. Hasil panen relatif tidak ada yang terbuang. Perlakuan pasca-panen seperti itu justru sudah tidak lagi dimiliki para petani sekarang. Konon lebih datri 20 persen hasil panen, terutama padi, terbuang percuma.
Tampaknya, petani sekarang bisa belajar dari tata cara bertani dan perlakukan terhadap hasil panen para petani tradisional. Tentui saja tidak membuang ilmu dan teknologi pertanian yang memang sangat modern. Cara bercocok tanamnya harus sesuai dengan kemajuan teknologi pertanian. Namun perlakukan terhadap hasil panen (pasca-panen ) tidak ada salahnya bila kita mengadopsi kebiasaan yang baik, para leluhur kita. Selain hasil panennya akan benar-benar berkualitas, dengan cara itu para petani terhindar dari perilaku para spekulan. Para petanilah yang harus menentukan harga jual gabah miliknya.
Tidak cepat menjual hasil panen (khususnya padi) merupakan upaya terbaik agar petani dapat menikmati harga gabah yang baik. Namun upaya itu sangat sulit dilaksanakan terutama oleh buruh tani. Mereka terpaksa harus menjual padi upah kerjanya meskipun masih basah. Untuk menyelamatkan para petani, termasuk buruh tani,dari fluktuasi harga hasil pertanian, pemerintah harus turun tangan. Intervensi pemerintah dapat dilakukan dengan cara penerangan, pendampingan, dan stimulasi permodalan. ***
Subscribe to:
Posts (Atom)